Muhammadiyah Bertradisi


MENJADIKAN MUHAMMADIYAH BER-TRADISI
Oleh: Aji Sofanudin

Meski telah berusia 99 tahun Miladiyah atau 102 tahun Hijriyah, sejatinya  dalam  masyarakat NU yang Kental, keberadaan Muhammadiyah lebih dikenal sebagai istilah peyoratif.  Orang yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi NU tulen, dan bahkan sampai mendarah-daging,  Muhammadiyah lebih banyak datang sebagai kabar buruk: ancaman pada tradisi. Mafhum, bahwa dalam beragama, NU sarat  dengan tradisi-tradisi: berjanzy, tahlil, manaqib, dzibaan, simtud duror, khaul, dan lain sebagainya. Sementara Muhammadiyah, tidak mentradisikan itu semua.
Muhammadiyah lahir pada bulan Nopember, tepatnya pada 18 Nopember 1912 bertepatan 13 Dzulhijjah 1330 H. Pendiri Muhammadiyah adalah seorang Kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, KH Ahmad Dahlan yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis.  Kini usia Muhammadiyah telah menginjak 99 tahun Miladiyah atau 102 Hijriyah.
Konon, dulu banyak da’i kampung yang digandrungi kalangan nahdliyin lebih karena suara kerasnya pada Muhammadiyah. Di hadapan ratusan orang sang kyai berpidato mengecam Muhammadiyah --yang ia sebut dengan istilah kamdiyah, kamandiyah atau kamandanu-- sekecam-kecamnya. Intinya, Muhammadiyah adalah buruk, dan NU adalah keselamatan. Orang-orang pada senang. Mereka bertepuk tangan. Tapi, kini sudah berkurang meski tidak hilang.
Muhammadiyah dan NU memang terbentang dalam sebuah jarak pemikiran yang berbeda. Di saat NU mengampanyekan kembali pada tradisi,  Muhammadiyah menantangnya dengan pembaharuan (tajdid), kembali pada Qur'an dan Sunnah. Di saat NU berkata "tradisi harus dihormati", Muhammadiyah justru menjawab "tradisi yang tak sesuai dengan ajaran Islam, mesti dibersihkan". Dan seterusnya.
Tapi, pada ranah sosial, bentangan pemikiran itu menjadi terasa. Pengalaman menunjukkan bahwa Nahdhiyyin dan Muhammadiyin boleh berbeda pendapat dalam hal keagamaan, tapi dalam soal sosial, tak ada alasan untuk memutus tali silaturrahim. Boleh-boleh saja jangkar modernisme Islam dilabuhkan oleh Muhammadiyah, tapi modernisme tersebut mesti berdialog dengan lokalitas; bersentuhan dengan tradisi yang telah lama hadir dalam tubuh umat Islam.
Nahdhiyyin mengajarkan pada kita untuk memperhatikan kebudayaan; tradisi. Oleh sebab itulah ia lahir menantang Muhammadiyah. Meski demikian, garis demarkasi antara agama dan budaya juga perlu diperhatikan. Tanpa garis demarkasi, yang terjadi ialah sinkretisme, perpaduan yang saling menenggalamkan antara budaya dan agama.
NU dan Muhammadiyah bukan sekadar entitas. Mereka adalah kebudayaan. Seseorang yang lahir dari kebudayaan, akan sulit melepaskan diri dari ikatannya yang kuat. Ketika bersentuhan dengan harakah, misalnya, ikatan kebudayaan yang dibangun oleh Muhammadiyah dalam kerangka berpikirnya menyebabkan kebudayaan tersebut terbawa ketika bersentuhan dengan mereka.
Nahdhiyyin mengajarkan untuk tidak menenggelamkan habitus kebudayaan itu. Sebab, tanpanya, kita akan semakin jauh tereksklusi dari masyarakat. Padahal hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (qudrat-iradat) Allah atas manusia di dunia ini. Dan sebagai konsekuensi logisnya, kita  harus terjun ke masyarakat sebagai bagian dari keberbudayaan.
Relasi antara Muhammadiyah dan NU kini semakin mencair, terutama pada tingkat elite kampus dan kota-kota besar yang dilabuhi oleh kapal globalisasi. Meski demikian, di daerah pedesaan, masih ada banyak kegelisahan dan kerawanan sosial. Itulah sebabnya, dialog menjadi penting. Tanpa dialog, yang ada adalah eksklusi, sikap saling-menyalahkan, dan ujung-ujungnya ketegangan. Di kampung, masih dijumpai ‘saling-ejek’ terkait perbedaan pelaksanaan sholat Idul Fitri.
Kita tentu tak mengharapkan adanya konflik horisontal seperti terjadi di Timur Tengah, antara Sunni dan Syiah. Maka dari itu, warga NU dan Muhammadiyah harus bersikap terbuka satu sama lain. Begitu juga dengan aktivis-aktivis harakah itu. Jangan sampai kita semua jatuh pada kejumudan hanya karena monopoli kebenaran yang sebenarnya tak perlu.
"Al-Islam mahjuubun bil muslimiin", kata Syaikh Muhammad Abduh. Islam itu tertutup oleh umat Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, pemahaman keagamaan yang universal dan transformatif perlu diarusutamakan. Tujuannya sederhana: agar Islam dipahami sebenar-benar sebagai diin, sebagai Islam, yang menerima pluralitas paham di dalamnya sebagai konsekuensi keberagaman.
Harapan kita, semoga ormas Muhammadiyah ber-tradisi atau setidaknya mengapresiasi tradisi yang berkembang di masyarakat. Dengan cara itu, fokus utama Muhammadiyah bukan mengungkit perbedaan dengan NU. Tapi membangun kejayaan umat dan bangsa di tengah kemerosotan dalam segala hal. Jangkar amal usaha di bidang pendidikan dan kesehatan perlu dibarengi dengan nilai-nilai syiar Islam. Semoga.
Oleh karena mengulas tentang NU dan Muhammadiyah, tulisan ini akan diakhiri dengan penutup yang sering sekali digunakan oleh kedua ormas tersebut.
Wallahu Muwaffiq ila aqwamith thariq
Nashrun Minallah wa Fathun Qariib


Semarang, 18 Nopember 2011
Aji Sofanudin
Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan  Agama (BPPA) Semarang, Alumnus Magister UII Yogyakarta konsentrasi ‘Islamic Research’



Dimuat di Majalah SMART Volume II No  2 Juli-Desember 2011
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang





0 Response to "Muhammadiyah Bertradisi"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme | Blogger Templates | Best Credit Cards