KDRT Tegal
23.49
ISLAMIC RESEARCH
, Posted in
Penelitian
,
0 Comments
Ringkasan Penelitian
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN
PERAN INSTITUSI AGAMA
Oleh: Aji Sofanudin
Abstract
This study aims to determine (1) Why is domestic
violence against women occurs in Tegal, (2) How is the forms of violence against women in Tegal, (3) How is the role of religious
institutions in Tegal in dealing with domestic violence cases, and (4) How is
the strategy made in tackling religious institutions, both prevention and
healing of domestic violence affecting women. This research is a qualitative
study conducted in Tegal regency. More specifically on religious institutions,
organizations, churches, temples, pagoda and other agencies that handle
domestic violence.
The result, first, domestic violence (KDRT) in Tegal is like an iceberg phenomenon is well hidden behind the walls of
houses and cultural barriers. Data on BPPKB (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana) as many as 40 people per year is based on the budget. Domestic violence occurs due to several reasons such
as (1) Economics, (2) Lifestyle, (3) Culture Patriakhi, (4) understanding
of religion who gender-biased. Domestic violence is still
understood as part of private law so that the resolution of this case is more
often directed to peacefully resolved internally or family.
Second, the forms of violence against women in Tegal
regency namely (1) Causes of disability or death, (2) Causes of
divorce, (3) inharmonious family, and (4) brokenhome family.
Third, the role of religious institutions in Tegal in
dealing with domestic violence cases: (1) give of the law-religion
(Bahtsul masa'ail), (2) place household consultation issues
(counselor), (3) religious lecture with the topic of domestic
violence, and ( 4) assistance
Fourth, the strategy undertaken in tackling religious
institutions, both prevention or healing of domestic violence is by (1) create woman crisis center, or forming a family team, (2) Work with the Local
Government in the handling of domestic violence , (3) Socialize UU Number 23 Year 2004, and (4) Training to the bride and groom.
Keywords: domestic violence, Tegal regency, religious institutions
A. PENDAHULUAN
Kekerasan
dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan masalah yang cukup menarik untuk diteliti
mengingat secara nasional angka KDRT yang dilaporkan menunjukkan peningkatan
dari tahun ke tahun. Komisi Nasional (Komnas) perempuan memaparkan catatan
tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan menunjukkan peningkatan jumlah
kasus secara konsisten dan signifikan. Tahun 2006 ada 22.512 kasus, tahun 2007
ada 25.522 kasus, dan tahun 2008 ada 54.425 kasus, ditangani oleh 258 lembaga
di 32 Propinsi di Indonesia. Kasus-kasus terbanyak ditangani di Jakarta (7.020)
dan Jawa Tengah (4.878) kasus. Kasus terbanyak adalah kekerasan dalam rumah
tangga (16.709 kasus, 74 %), disusul dengan kekerasan di ranah komunitas (5.240
kasus, 23 %), dan 43 kasus ditemukan di ranah negara.[1]
Alasan
lain adalah KDRT memiliki keunikan dan kekhasan karena kejahatan ini terjadi
dalam lingkup rumah tangga dan berlangsung dalam hubungan personal yang intim,
yaitu antara suami dan isteri, orang tua dan anak atau antara anak dengan anak
atau dengan orang yang bekerja di lingkup rumah tangga yang tinggal menetap.
KDRT yang terjadi antara suami isteri dilandasi oleh hubungan dalam lembaga
perkawinan yang diatur pula oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedudukan pelaku dan
korban yang sedemikian ini menyebabkan KDRT masih dipandang sebagai bagian dari
hukum privat sehingga penyelesaian kasus ini lebih sering diarahkan untuk damai
atau diselesaikan secara internal keluarga.
Berdasarkan itu maka, penelitian ini akan menjelaskan mengapa
terjadi kekerasan terhadap perempuan, khususnya KDRT dan bagaimana peran institusi agama
menanggulangi masalah tersebut.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merumuskan
beberapa masalah sebagai berikut.
1.
Mengapa terjadi KDRT terhadap perempuan
di Tegal?
2.
Bagaimana bentuk-bentuk
kekerasan terhadap perempuan di Tegal?
3.
Bagaimana peran institusi agama
di Tegal dalam
menghadapi kasus KDRT?
4.
Bagaimana strategi yang dilakukan institusi
agama dalam menanggulangi, baik pencegahan maupun penyembuhan
terhadap KDRT yang menimpa perempuan?
C. TEORI
Undang-undang No. 23 tahun 2004, Pasal 1 ayat 1
menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan,
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tentang siapa saja yang
termasuk dalam lingkup rumah tangga, adalah: a). Suami, isteri, dan anak, termasuk anak angkat dan
anak tiri; b). Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami,
isteri yang tinggal menetap dalam rumah tangga, seperti: mertua, menantu, ipar,
dan besan; dan c). Orang yang bekerja membantu di rumah tangga dan menetap
tinggal dalam rumah tangga tersebut, seperti PRT.
Adapun bentuk KDRT seperti yang disebut di atas
dapat dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk: 1) Kekerasan
fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat; 2) Kekerasan
psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll. 3).Kekerasan
seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk
suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu ;
dan 4). Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam
lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu
penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut.
Allah memerintahkan
kepada laki-laki dan perempuan (termasuk suami dan isteri) agar saling
mengingatkan serta mengajak berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran,
sebagaimana dinyatakan dalam QS at-Taubah: 71 berikut ini.
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# cqßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# cqè?÷sãur no4qx.¨9$# cqãèÏÜãur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷zy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îÍtã ÒOÅ3ym ÇÐÊÈ
Artinya: Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan wanita (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar,
mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Agar dapat
menciptakan kerja sama yang baik dalam rumah tangga, maka keikhlasan menerima
pasangannya dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus sudah dimiliki
calon suami isteri. Karenanya Islam memberikan tuntunan agar pernikahan itu
terjadi atas kerelaan kedua belah pihak, tanpa paksaan. Maka kebebasan memilih
calon suami diberikan oleh Islam, artinya seorang gadis tidak boleh dipaksa
menerima calon suami yang tidak dikehendakinya. Ia harus diminta persetujuannya
sebagaimana sabda Rasulullah, Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada
walinya, sedang perawan diminta izin tentang urusan dirinya, dan izinnya itu
adalah diamnya (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Setelah terjadinya
pernikahan, masing-masing suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah (tenang) dan penuh mawaddah
(cinta) serta rahmah (kasih sayang).
Guna merealisir
tujuan tersebut, maka Islam melarang masing-masing pihak mengabaikan atau
melanggar hak-hak pasangannya yang mengakibatkan timbulnya kekerasan. Beberapa
ajaran yang melarang terjadinya kekerasan meliputi: (1) kekerasan ekonomi, (2)
kekerasan seksual, (3) kekerasan psikologi, (4) kekerasan fisik.[2]
D. METODE PENELITIAN
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Dilakukan
dengan cara pengamatan terhadap institusi agama dalam mencegah, menanggulangi,
dan menangani kasus-kasus
kekerasan; dan wawancara yang dilakukan terhadap tokoh agama dan
pimpinan institusi agama, anggota organisasi, jemaat, dan para stakeholder
yang paham
terhadap persoalan tersebut.
Penelitian ini
melihat apa adanya terhadap hal-hal apa saja
yang sudah dilakukan oleh institusi agama dalam menghadapi kasus ini.
Untuk mengetahui peran institusi agama, pengamatan terhadap program kegiatan
institusi agama dan wawancara terhadap pimpinan institusi dan pengurus
institusi, serta anggota institusi, dilakukan guna untuk mengetahui bagaimana
kiat-kiat, strategi, upaya institusi agama; pendampingan, penyembuhan serta
pencegahan yang bagaimana yang dilakukan.
Pendekatan
kualitatif dilakukan dalam penelitian ini agar peneliti dapat memperoleh data
dan pengetahuan yang jelas, lengkap, rinci, mendetail dan terpercaya tentang berbagai hal yang
terjadi, dialami, dan dilakukan
baik oleh institusi agama maupun korban kekerasan.
E. HASIL PENELITIAN
- Data Agama dan KDRT Kab. Tegal
Data resmi komposisi agama di kabupaten Tegal
adalah sebagai berikut.
Tabel 1
Komposisi Agama
No
|
Agama
|
Jumlah
|
Persentase
|
1
|
Islam
|
1.494.434
|
99, 52 %
|
2
|
Kristen
|
2.936
|
0,59 %
|
3
|
Katholik
|
2.745
|
0,55 %
|
4
|
Hindu
|
936
|
0,19 %
|
5
|
Budha
|
563
|
0,11 %
|
Sumber: Sistem Informasi Daerah Kab. Tegal, 2010
Sedangkan menurut data Kementerian Agama,
komposisi agama adalah sebagai berikut.
Tabel 2
Komposisi Agama
No
|
Agama
|
Jumlah
|
Persentase
|
1
|
Islam
|
1.629.516
|
99,70
%
|
2
|
Kristen
|
2.605
|
0,15
%
|
3
|
Katholik
|
1.269
|
0,08
%
|
4
|
Hindu
|
611
|
0,04
%
|
5
|
Budha
|
335
|
0,02
%
|
6
|
Lainnya
|
4
|
0,0002 %
|
Sumber: Kasi Urais Kementerian Agama, 2011
Pada struktur pemerintah kabupaten Tegal
terdapat Badan Pemberayaan Perempuan dan Keluarga Berencana. Oleh Bupati
Kabupaten Tegal, badan ini sekaligus menjadi sekretariat Pusat Pelayanan Terpadu
(PPT) Korban Tindak Kekerasan Berbasis Gender dan Anak.
PPT kabupaten Tegal dibentuk pada tahun 2008 dan secara resmi ditetapkan
dengan Keputusan Bupati Tegal tanggal 9 Desember 2008 No: 050/919/2008 yang
telah diubah dengan Keputusan Bupati Tegal
tanggal 20 Januari 2011 No: 050/54/2011 tentang Pembentukan Tim
Pelayanan Terpadu Korban Tindak Kekerasan Berbasis Gender dan Anak di Kabupaten
Tegal.
PPT kabupaten Tegal didirikan atas dasar kebutuhan yang mendesak untuk
memberikan perlindungan dan penanganan komprehensif kepada korban tindak
kekerasan berbasis gender dan anak di kabupaten Tegal.
Data kekerasan terhadap perempuan dan anak di kabupaten Tegal adalah
sebagai berikut.
Tabel
Data Kekerasan terhadap Perempuan
dan Anak
No
|
Tahun
|
Jumlah Kasus
|
Data ‘APBD’
|
1
|
2008
|
45 kasus
|
40
|
2
|
2009
|
48 kasus
|
40
|
3
|
2010
|
50 kasus
|
40
|
Sumber: Badan Pemberdayaan Perempuan, 2011
Dalam menjalankan perannya, BPPKB bekerja sama dengan kepolisian resor
Tegal. Kedua institusi tersebut bekerja sama dalam penanganan berbagai kasus.
Secara formal, BPPKB hanya membatasi jumlah kasus sebanyak 40 kasus. Hal ini
karena, anggaran yang disediakan pemerintah daerah kabupaten Tegal memang
sebanyak itu.
Data di atas merupakan data gabungan yang disusun bersama dengan
Kepolisian Resor Tegal, Kanit PPA. Namun, secara faktual Pemerintah Daerah cq
Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak di Kabupaten
Tegal hanya menangani maksimal 40 kasus setiap tahun. Hal ini berdasarkan
besarnya alokasi anggaran yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sebanyak 40
sejak tahun 2008 s.d 2011.
Secara umum, PPT hanya menerima pengaduan yang berasal dari kalangan
swasta. Ketika KDRT itu menimpa PNS, badan ini tidak bersedia menangani
kasusnya secara langsung namun diserahkan kepada Inspektorat Jenderal.[3]
Dalam penanganan KDRT, Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Keluarga Berencana menggandeng pihak Pondok Pesantren dan
Institusi Gereja. Pondok pesantren yang diajak kerjasama adalah Pondok
Pesantren Ma’hatut Tholabah pimpinan KH Irfan Fadhil. Sementara, gereja yang ditunjuk
adalah Gereja Katholik Immaculata, Agatha Damai.
- Penyebab KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Tegal ibarat fenomena
gunung es yang tersembunyi rapat di balik dinding-dinding rumah dan sekat-sekat
budaya. Data resmi di Badan Pemberdayaan Perempuan, Kekerasan yang berbasis
Gender sebanyak 40 orang per tahun lebih merupakan angka patokan (data berdasar
anggaran/data APBD).
Berdasarkan data di atas dan wawancara dengan
tokoh-tokoh agama diketahui bahwa penyebab KDRT sangat beragam, yakni: (1)
Ekonomi, (2) Gaya hidup, faham materialisme (3) Budaya Patriakhi, (4) Pemahaman
agama yang bias gender.
Faktor ekonomi lebih dekat pada faktor
kemiskinan, kekurangan kebutuhan dasar, dan juga terkait erat dengan persoalan
rendahnya tingkat pendidikan. Menurut, Yosita Wulandari 70 % persoalan KDRT di
kabupaten Tegal terkait dengan masalah ekonomi.
Demikian juga, para tokoh agama mengungkapkan
bahwa umat/jemaat yang berkonsultasi masalah rumah tangga lebih banyak pada
persoalan lemahnya ekonomi. Para kyai/ustadz/pendeta menjadi semacam ‘konselor’
yang menangani persoalan rumah tangga.
Data di Polres Tegal menunjukkan bahwa banyak
kasus KDRT yang kemudian laporannya dicabut kembali. Ditinjau dari segi usia,
diketahui bahwa kebanyakan yang cabut-laporan adalah data pasangan muda. Ada
juga yang menunjukkan bahwa pelaku menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO).
KDRT masih dipahami sebagai bagian dari hukum
privat sehingga penyelesaian kasus ini lebih sering diarahkan untuk damai atau
diselesaikan secara internal keluarga.
- Bentuk-bentuk KDRT
Secara umum bentuk-bentuk KDRT sebaimana
disebutkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 meliputi (1) kekerasan fisik, (2)
kekerasan psikis, (3) kekerasan seksual, dan (4) penelantaran rumah tangga.
Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan
psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll. Kekerasan
seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk
suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu.
Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya. Selain
itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut.
Sri Suhandjati Sukri (2004) mengungkapkan bahwa
Islam menentang kekerasan terhadap isteri yang meliputi: (1) Larangan melakukan
kekerasan ekonomi, (2) larangan melakukan kekerasan seksual, (3) larangan
melakukan kekerasan psikologi, (4) larangan melakukan kekerasan fisik.
Suami mempunyai kewajiban memberi nafkah, pakaian dan tempat
tinggal bagi isteri dan anak-anaknya. Suami tidak dibolehkan mengabaikan
kewajibannya memberi nafkah dan pakaian kepada isteri, sebagaimana sabda Nabi, Cukup
Berdosa Seorang yang Mengabaikan Orang yang menjadi tanggungannya (HR Abu
Daud Nasa’i dan Hakim).
Islam melarang
terjadinya kekerasan ekonomi, bahkan suami yang telah menceraikan isterinya pun
diharuskan memberikan nafkahnya. Terlebih bagi yang sedang mengandung, maka
sampai mereka melahirkan, dan untuk pemeliharaan anak selanjutnya menjadi
tanggung jawab suami
Islam memberikan
hak yang sama bagi suami-isteri untuk menikmati relasi seksual secara seimbang,
yang digambarkan seperti pakaian yang satu bagi lainnya (QS al-Baqarah: 187).
Mereka punya peran saling memberikan kehangatan cinta dan kasih sayang serta tidak
diperbolehkan melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Seperti menggauli
isterinya melalui dubur. Hal ini dilarang Rasulullah dengan sabdanya yang
berbunyi, Terlaknatlah laki-laki yang mendatangi (menggauli) isteri lewat
dubur (HR Abu Daud)
Suami diperintahkan
agar bergaul dengan isterinya secara patut (QS an-Nisa: 19). Di antaranya
bertutur kata dan bersikap yang baik/menyenangkan isteri.
Rasulullah telah
memberikan teladan, tentang kesabaran menghadapi isterinya. Sewaktu menghadapi
makanan yang tidak disukai, beliau tidak pernah mencelanya. Jika beliau suka,
maka akan memakannya. Sedangkan jika tidak suka, maka tidak mengambilnya (HR
Muttafaq’alaih). Karena mencela makanan yang disajikan isteri, dapat
menimbulkan kekecewaannya. Apalagi disertai sumpah serapah, karena kekurangan
isteri tersebut.
Prinsip Islam
tentang pergaulan suami isteri yang didasarkan pada mu’asyarah bi al-ma’ruf,
perlu diwujudkan pula dalam perbuatan untuk menghindarkan diri dari
kekejaman fisik. Berlaku sopan, saling menjaga dan melindungi, dan tidak saling
membenci atau menyakiti, merupakan sebagian dari pergaulan yang ma’ruf/patut.
Seorang suami harus sabar terhadap kekurangan isterinya, demikian pula
sebaliknya. Sebagai manusia biasa setiap orang tidak lepas dari kekurangan, di
samping kelebihannya. Maka Rasulullah melarang suami membenci isterinya, seorang
mukmin (suami) tidak boleh membenci seorang mukminah (isterinya) jika ia tidak
menyukai karena salah satu perangainya, maka ia akan senang dengan perangainya
yang lain (HR Muslim).
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di kabupaten
Tegal yakni (1) Mengakibatkan kecacatan atau kematian, (2) Mengakibatkan
perceraian, (3) Mengakibatkan keluarga kurang harmonis, dan (4) Mengakibatkan
keluarga berantakan.
- Peran Ormas/Institusi Agama
Peran institusi agama di Tegal dalam menghadapi kasus KDRT
yakni (1) pemberian hukum-agama (bahtsul masa’ail), (2) tempat konsultasi
persoalan rumah tangga (konselor), (3) ceramah/pengajian dengan topik KDRT, dan
(4) pendampingan/bantuan
Di PCNU Kab Tegal setiap Ahad
Pon diadakan Bahtsul Masa’il, dan diantara masalah yang muncul adalah mengenai
hukum seorang suami yang melarang isterinya yang hamil melakukan
persalinan/pemeriksaan ke dokter laki-laki, padahal si isteri sudah merasa
cocok dengan suatu dokter tertentu yang kebetulan adalah laki-laki. Ini adalah
suatu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kita NU membahas itu dalam
perspektif hukum Islam.[4]
Jika ada warga Muhammadiyah yang mengalami KDRT biasanya akan ‘curhat’
dengan Pimpinan Daerah. Secara figur, banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang
dijadikan rujukan (konselor) tempat bertanya berbagai persoalan rumah tangga.[5]
Secara organisatoris adalah Aisyiyah. Tapi memang tidak bisa dipisahkan
antara Muhammadiyah dan Aisyiyah dalam penanganan masalah tersebut. Sudah ada
cikal bakal pendirian woman care ataupun woman crisis centre di
PDM Tegal.
Selama ini alur penyelesaian KDRT di kabupaten Tegal ada beberapa macam:
1. Model Pertama : Muhammadiyah/Tokoh
2. Model Kedua : Tokoh---Pusat Pelayanan Terpadu
3. Model Ketiga : PPT --- Polisi
4. Model Keempat : Polisi --- PPT
Banyak tokoh Muhammadiyah yang karena kapasitas keilmuan dijadikan
rujukan tempat bertanya berbagai persoalan termasuk masalah rumah tangga. Namun
jika, masalah tersebut sudah masuk ranah pidana akan diserahkan kepada pihak
berwajib dalam hal ini adalah kepolisian.
Demikian juga, jika masalah tersebut memerlukan bantuan penanganan lebih
lanjut biasanya diserahkan kepada Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Korban Tindak
Kekerasan Berbasis Gender dan Anak.
Aisyiyah maupun Muhammadiyah juga pernah mengadakan ceramah atau pun
pengajian dengan topik rumah tangga. Hal ini karena persoalan tersebut penting
dan secara tidak sadar banyak menimpa keluarga kita. Bantuan (sedekah) biasanya
juga diberikan kepada fakir miskin yang kadang-kadang ada juga mustahiq nya
terlilit masalah KDRT.
Demikian juga di Katholik, Kristen, Hindu, dan
Budha dalam kepengurusan institusi agama terdapat lembaga yang menangi
persoalan rumah tangga: tim keluarga, komisi wanita, dengan berbagai kegiatan
misalnya kursus Persiapan Perkawinan (katholik), dan pendampingan. Di dalam
agama Hindu-Budha belum ada kasus yang melibatkan kasus KDRT sampai tingkat
kepolisian maupun ormas.
- Strategi yang dilakukan Ormas/Institusi Keagamaan
Strategi Ormas merupakan upaya yang dilakukan
organisasi ataupun institusi keagamaan dalam menangani persoalan KDRT yang
menimpa umat/anggota organisasi tersebut.
Strategi yang dilakukan institusi agama dalam menanggulangi, baik pencegahan maupun penyembuhan
terhadap KDRT yang menimpa perempuan yaitu dengan cara (1)
Membentuk woman care, woman crisis centre, atau membentuk tim keluarga,
(2) Bekerja sama dengan pihak Pemerintah Daerah dalam penanganan KDRT, (3)
Melakukan sosialisasi UU Nomor 23 Tahun 2004, dan (4) Memberikan training
(kursus calon pengantin) kepada calon pengantin.
Hampir di semua lembaga keagamaan telah mempunyai
lembaga/organisasi yang menangani persoalan KDRT dengan beragama nama: Aisyiah,
Muslimat (di Tegal: Fatayat), wanita katholik, wanita kristen, komisi wanita, tim keluarga, dan sebagainya.
Dalam penanganan KDRT pihak pemerintah cq Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana menggandeng ormas/institusi
keagamaan, termasuk juga pesantren dan LSM di dalam penanganan masalah KDRT.
Ormas keagamaan juga pernah melakukan sosialisasi
UU Nomor 23 Tahun 2004 yang bekerja sama dengan pihak pemerintah daerah.
F. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) di Tegal ibarat fenomena
gunung es yang tersembunyi rapat di balik dinding-dinding rumah dan sekat-sekat
budaya. Data resmi di Dinas Pemberdayaan Perempuan Kekerasan yang berbasis
Gender sebanyak 40 orang per tahun lebih merupakan angka patokan (data berdasar
anggaran/data APBD). KDRT terjadi karena beberapa sebab misalnya (1) Ekonomi,
(2) Gaya hidup, faham materialisme (3) Budaya Patriakhi, (4) Pemahaman agama
yang bias gender. KDRT masih dipahami sebagai bagian dari hukum privat sehingga
penyelesaian kasus ini lebih sering diarahkan untuk damai atau diselesaikan
secara internal keluarga.
2. Bentuk-bentuk kekerasan
terhadap perempuan di kabupaten Tegal yakni (1) Mengakibatkan kecacatan atau
kematian, (2) Mengakibatkan perceraian, (3) Mengakibatkan keluarga kurang
harmonis, dan (4) Mengakibatkan keluarga berantakan
3. Peran institusi agama
di Tegal dalam
menghadapi kasus KDRT yakni (1) pemberian
hukum-agama (bahtsul masa’ail), (2) tempat konsultasi persoalan rumah tangga
(konselor), (3) ceramah/pengajian dengan topik KDRT, dan (4) pendampingan/bantuan
4. Strategi yang dilakukan institusi
agama dalam
menanggulangi, baik pencegahan maupun penyembuhan
terhadap KDRT yang menimpa perempuan yaitu dengan cara (1)
Membentuk woman care, woman crisis centre, atau membentuk tim keluarga,
(2) Bekerja sama dengan pihak Pemerintah Daerah dalam penanganan KDRT, (3)
Melakukan sosialisasi UU Nomor 23 Tahun 2004, dan (4) Memberikan training
(kursus calon pengantin) kepada calon pengantin.
Rekomendasi
Berdasarkan temuan
penelitian tersebut, ada beberapa hal yang perlu kami rekomendasikan:
1. Kementerian Agama cq Bimas
Agama (Islam-Kristen-Katholik-Hindu-Budha-Kong Hu Cu) perlu melakukan ‘action’
yang ditujukan untuk mengubah cara berpikir masyarakat dengan pemaparan
‘Argumentasi Kesetaraan Gender’ dalam perspektif beragam agama. Hal ini bisa
dilakukan dengan cara mengadakan workshop, pelatihan, lokakarya tentang KDRT
dalam perspektif agama-agama.
2. Pemerintah daerah perlu
melakukan penguatan lembaga perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender.
Tim terpadu penanganan KDRT perlu bekerja lebih intensif dengan terjun langsung
ke masyarakat
3. Institusi/Ormas keagamaan perlu
merumuskan program kerja aplikatif untuk penanganan KDRT yang menimpa umat
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, Irwan. 2000. Seks, gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Terawang Press
Bainar (Ed.).
1998. Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemoderenan. Yogyakarta: CIDES UII
De Beaouuoir, Simon.
1953. The
Second Sex. New York: Knopf
Komnas Perempuan. 2002. Peta Kekerasan (Pengalaman Perempuan Indonesia). The Asia Foundation dan
Yayasan Tifa:
SGIFF-CIDA
Kustomo, Suriali Andi
dan Akhmad Saefudin (Ed). 2010. Kabupaten Tegal; Mimpi, Perspektif, dan
Harapan. Tegal: Sekda Kabupaten Tegal
Pemerintah Kabupaten
Tegal. 2010. Pamflet Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana
Kabupaten Tegal, Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Korban Tindak Kekerasan
Berbasis Gender dan Anak di Kabupaten Tegal
------------, Sistem
Informasi Profil Daerah Kabupaten Tegal Tahun 2010, Bappeda Kabupaten Tegal
Pimpinan Daerah
Muhammadiyah. Program Kerja Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Tegal
Periode 2010-2015
Polres Tegal. Laporan
Data Kasus Korban Tindak Kekerasan Berbasis Gender dan Anak. Tegal:
Kepolisian Resor Tegal Kanit PPA
Rochani, Ahmad Hamam.
2005. Ki Gede Sebayu Babad Negari Tegal. Tegal: Intermedia Paramadina
dan Pemerintah Kabupaten Tegal
Russel, Latty.
1995. Human
Liberation in Feminist Perspective. Philadelpia Westmanister
Suara Merdeka, 8 Januari
2011
Sukri, Sri Suhandjati.
2004. Islam Menentang Kekerasan terhadap Isteri. Yogyakarta: Gama Media
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Usman, Fatimah. Upaya
Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak, Makalah Seminar GOW Kab Tegal,
2010
[1] Hamidah Abdurrachman, ‘Pencegahan KDRT; Perlu Kebijakan
yang Lebih Serius dari Pemerintah Daerah’ dalam Kabupaten Tegal; Mimpi,
Perspektif, dan Harapan, (Tegal: Setda Kabupaten Tegal, 2010), hlm. 247-248
[2] Sri Suhadjati Sukri, Islam
Menentang Kekerasan terhadap Isteri, Yogyakarta: Gama Media, 2004
[3] Menurut Keterangan Yosita
Wulandari, SH MM, Ketua PPT, pernah terjadi pelaporan yang melibatkan Isteri
Wakil Bupati Tegal dan Isteri seorang kepala Desa. Penanganan ini kemudian
diteruskan di tingkat Inspektorat Jenderal Kabupaten Tegal, wawancara tanggal
28 September 2011, Pukul 11.00 WIB.
[4] H Akhmad Was’ari, Selasa,
4 Oktober 2011
[5] H Ahmad Zaki, Kamis, 6
Oktober 2011
0 Response to "KDRT Tegal"
Posting Komentar