Teologi Sukses
21.13
ISLAMIC RESEARCH
, Posted in
Artikel
,
0 Comments
TEOLOGI
SUKSES
Oleh:
Aji Sofanudin
Ketika menulis status
di fb Jangan-jangan Tuhanlah yang Merencanakan dan Kitalah yang Menentukan,
bukan sebaliknya penulis dituduh sebagai penyebar aliran teologi baru. Ada
yang comment, “bukan qodariah atau
jabariah...aliran baru nich”. Penulis sadar, bahwa yang comment hanyalah sekedar
bercanda dan main-main. Namun, penulis berpikir apakah salah kalau kemudian
lahir teologi baru yang lebih sesuai dengan kondisi zaman sekarang. Penulis merasa,
barangkali “teologi sukses” akan cocok untuk kehidupan zaman sekarang yang
serba modern ini. Terlebih doa kita setiap hari adalah agar kita sukses; sukses
hidup di dunia dan juga sukses hidup di akhirat. Robbana atina fiddun ya hasanah, wafil akhirati hasanatawwaqinaa adzabannar.
Ukuran sukses di dunia adalah umur panjang, pendidikan tinggi, kekayaan
yang berkah melimpah, jabatan yang tinggi dan sebagainya. Ukuran sukses akhirat
adalah bisa masuk surganya Allah, bertemu dengan Allah, dan lain sebagainya.
Dalam bukunya yang
sangat populer, Teologi Islam;
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Prof Dr Harun Nasution
menguraikan secara detail aliran-aliran teologi klasik dalam Islam. Di situ
diuraikan secara gamblang mulai dari penyebab munculnya aliran-aliran tersebut,
tokoh-tokohnya, ajaran-ajaran teologinya, dan perbandingan antar berbagai
aliran dalam Islam tersebut.
Diceritakan bahwa
sebagai sebuah agama, persoalan yang pertama-tama muncul dalam Islam adalah
bukan dalam bidang teologi melainkan dalam bidang politik. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat
menjadi persoalan teologi. Islam sendiri di samping merupakan sistem agama
telah pula merupakan sistem politik, dan Nabi Muhammad di samping Rasul telah
pula menjadi seorang ahli negara (presiden). Pada waktu wafatnya Nabi, sibuk
memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu
sehingga penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Timbullah soal khilafah, soal pengganti Nabi Muhammad
sebagai kepala negara. Sebagai Nabi dan Rasul, tentu tidak dapat digantikan.
Persoalan teologi muncul
pertama kali ketika terjadi pertempuran antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah
yang dikenal dengan peran Siffin. Dalam pertempuran tersebut, sebenarnya
tentara Ali telah dapat mendesak tentara Mu’awiyah dan hampir saja memenangkan
pertempuran. Namun, tangan kanan Muawiyah, Amr Ibn Ash yang terkenal sebagai
orang yang licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas. Akhirnya
disepakati mengadakan arbitrase. Pihak Ali mengirimkan Abu Musa al-Asy’ari dan
Muawiyah mengirimkan Amr Ibn Ash.
Sejarah mencatat antara
keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan,
Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari sebagai yang
tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan
menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang
disetujui, Amr Ibn Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang
diumumkan al-Asy’ari tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Bagaimanapun
peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan Mu’awiyah. Yang legal
menjadi Khalifah sebenarnya adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak
lebih dari Gubernr daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai Khalifah.
Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak Ali dan tak mau meletakkan
jabatannya sampai ia mati terbunuh di tahun 661 M.
Sikap Ali yang menerima
tipu muslihat Amr bin Ash untuk mengadakan arbitrase sungguhpun dalam keadaan
terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa
hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya
datang dari Allah dengan kepada kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak hukum selain
dari hukum Allah). Mereka memandang Ali Ibn Abi Thalib telah berbuat salah,
kafir, dan oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka
inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang
ke luar dan memisahkan diri atau seceder.
Lambat laun kaum Khawarij
pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir pun turut mengalami perubahan. Yang
dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan
al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, murtad, juga dipandang kafir.
Persoalan orang berbuat dosa besar inilah kemudian yang mempunyai pengaruh
besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Persoalannya ialah
Masihkan ia bisa dipandang orang mukmin atau ia sudah menjadi kafir karena
berbuat dosa. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama, aliran khawarij yang mengatakan
bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti ke luar dari Islam atau
tegasnya murtad, dan oleh karena itu ia wajib dibunuh.
Kedua,
aliran
murji’ah yang menegaskan ahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin
dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah
untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Ketiga,
kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-pendapat di
atas. Bagi mereka orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi pula bukan
mukmin. Orang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara ke dua posisi
mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi
di antara dua posisi).
Dalam pada itu timbul
pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al-Qadariah dan al-Jabariah. Menurut Qodariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya, dalam istilah inggrisnya dikenal free will atau free act. Jabariah sebaliknya berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala
tingkah lakunya menurut faham Jabariah bertindak dengan paksaan dari Tuhan.
Segala gerak gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham inilah yang disebut
paham predestination atau fatalism.
Teologi Mu’tazilah
bersifat rasional dan liberal. Khalifah al-Ma’mun (813-833 M) putera Khalifah
Harun al-Rasyid menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang dianut
negara. Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras
dari golongan tradisional Islam terutama golongan Hambali. Perlawanan ini
kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu
al-Hasan al-Asy’ari (935 M). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang
Mu’tazilah, tetapi kemudian menurut riwayat setelah melihat dalam mimpi bahwa
ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajaran-ajaran yang sesat,
al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru yang
kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy’ariyah. Di samping aliran
Asy’ariyah timbul pula di Samarkand suatu aliran yang bermaksud juga menentang
aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi ( w 944
M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi al-Maturidiah.
Dengan demikian
aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij,
Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiyah. Selain itu, faham Qadariyah dan Jabariah bergelut dalam pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai
ciptaan Tuhan, bergantung pada kehendak Tuhan? Diberi Tuhankah manusia
kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?. Kaum Qodariyah berpendapat bahwa manusia
mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Kaum
Jabariah berpendapat sebaliknya, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menenutkan kehendak dan perbuatannya.
Bagaimana dengan
Teologi Sukses? Teologi ini lahir bukan akibat persoalan politik sebagaimana
teologi-teologi yang lain. Teologi ini lahir sebagai kesadaran penuh bahwa
setiap manusia hendaknya memperoleh kesuksesan hidup, baik kesuksesan hidup di
dunia dan lebih dari itu juga kesuksesan hidup di akhirat. Dalam teologi ini,
semua yang terjadi di alam ini adalah sudah dalam perencanaan Tuhan, namun
manusialah yang menentukan apakah perencanaan Tuhan itu dapat mewujud dalam
keseharian kita.
Tuhan telah menentukan
hukum-hukumnya. Dan kitalah manusia yang mengaplikasikan hukum-hukum tersebut.
Sebagai contoh, Tuhan telah merencanakan bahwa untuk menjadi kaya, maka seorang
harus mengeluarkan minimal 2,5 % dari
pendapatannya. Maka tunaikanlah itu. Demikian juga, Tuhan telah
menetapkan waktu pertemuan dengan manusia minimal 5 kali sehari dalam bentuk
sholat, maka kerjakanlah itu supaya kita menjadi sukses, dan lain sebagainya.
Dengan teologi sukses, kita akan menjadi sukses. Insya Allah. Hiduplah dalam
perencanaan Tuhan sebagaimana dalam doa kita setiap saat Robbana atina fiddun ya hasanah, wafil akhirati hasanatawwaqinaa
adzabannar. Wallahu’alam.
Indonesia, 16 April 2012
0 Response to "Teologi Sukses"
Posting Komentar