Teologi Sukses


TEOLOGI SUKSES
Oleh: Aji Sofanudin

Ketika menulis status di fb Jangan-jangan Tuhanlah  yang Merencanakan dan Kitalah yang Menentukan, bukan sebaliknya penulis dituduh sebagai penyebar aliran teologi baru. Ada yang comment, “bukan qodariah atau jabariah...aliran baru nich”. Penulis sadar, bahwa yang comment  hanyalah sekedar bercanda dan main-main. Namun, penulis berpikir apakah salah kalau kemudian lahir teologi baru yang lebih sesuai dengan kondisi zaman sekarang. Penulis merasa, barangkali “teologi sukses” akan cocok untuk kehidupan zaman sekarang yang serba modern ini. Terlebih doa kita setiap hari adalah agar kita sukses; sukses hidup di dunia dan juga sukses hidup di akhirat. Robbana atina fiddun ya hasanah, wafil akhirati hasanatawwaqinaa adzabannar. Ukuran sukses di dunia adalah umur panjang, pendidikan tinggi, kekayaan yang berkah melimpah, jabatan yang tinggi dan sebagainya. Ukuran sukses akhirat adalah bisa masuk surganya Allah, bertemu dengan Allah, dan lain sebagainya.
Dalam bukunya yang sangat populer, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Prof Dr Harun Nasution menguraikan secara detail aliran-aliran teologi klasik dalam Islam. Di situ diuraikan secara gamblang mulai dari penyebab munculnya aliran-aliran tersebut, tokoh-tokohnya, ajaran-ajaran teologinya, dan perbandingan antar berbagai aliran dalam Islam tersebut.
Diceritakan bahwa sebagai sebuah agama, persoalan yang pertama-tama muncul dalam Islam adalah bukan dalam bidang teologi melainkan dalam bidang politik.  Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Islam sendiri di samping merupakan sistem agama telah pula merupakan sistem politik, dan Nabi Muhammad di samping Rasul telah pula menjadi seorang ahli negara (presiden). Pada waktu wafatnya Nabi, sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu sehingga penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Timbullah soal khilafah, soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Sebagai Nabi dan Rasul, tentu tidak dapat digantikan.
Persoalan teologi muncul pertama kali ketika terjadi pertempuran antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah yang dikenal dengan peran Siffin. Dalam pertempuran tersebut, sebenarnya tentara Ali telah dapat mendesak tentara Mu’awiyah dan hampir saja memenangkan pertempuran. Namun, tangan kanan Muawiyah, Amr Ibn Ash yang terkenal sebagai orang yang licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas. Akhirnya disepakati mengadakan arbitrase. Pihak Ali mengirimkan Abu Musa al-Asy’ari dan Muawiyah mengirimkan Amr Ibn Ash.
Sejarah mencatat antara keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang disetujui, Amr Ibn Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang diumumkan al-Asy’ari tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan Mu’awiyah. Yang legal menjadi Khalifah sebenarnya adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernr daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai Khalifah. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak Ali dan tak mau meletakkan jabatannya sampai ia mati terbunuh di tahun 661 M.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash untuk mengadakan arbitrase sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kepada kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak hukum selain dari hukum Allah). Mereka memandang Ali Ibn Abi Thalib telah berbuat salah, kafir, dan oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang ke luar dan memisahkan diri atau seceder.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir pun turut mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, murtad, juga dipandang kafir. Persoalan orang berbuat dosa besar inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Persoalannya ialah Masihkan ia bisa dipandang orang mukmin atau ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama, aliran khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti ke luar dari Islam atau tegasnya murtad, dan oleh karena itu ia wajib dibunuh.
Kedua, aliran murji’ah yang menegaskan ahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Ketiga, kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi pula bukan mukmin. Orang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara ke dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al-Qadariah dan al-Jabariah. Menurut Qodariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah inggrisnya dikenal free will atau free act. Jabariah sebaliknya berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya menurut faham Jabariah bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham inilah yang disebut paham predestination atau fatalism.
Teologi Mu’tazilah bersifat rasional dan liberal. Khalifah al-Ma’mun (813-833 M) putera Khalifah Harun al-Rasyid menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang dianut negara. Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam terutama golongan Hambali. Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang Mu’tazilah, tetapi kemudian menurut riwayat setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajaran-ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy’ariyah. Di samping aliran Asy’ariyah timbul pula di Samarkand suatu aliran yang bermaksud juga menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi ( w 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi al-Maturidiah.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiyah. Selain itu, faham Qadariyah dan Jabariah bergelut dalam pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung pada kehendak Tuhan? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?. Kaum Qodariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Kaum Jabariah berpendapat sebaliknya, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menenutkan kehendak dan perbuatannya.
Bagaimana dengan Teologi Sukses? Teologi ini lahir bukan akibat persoalan politik sebagaimana teologi-teologi yang lain. Teologi ini lahir sebagai kesadaran penuh bahwa setiap manusia hendaknya memperoleh kesuksesan hidup, baik kesuksesan hidup di dunia dan lebih dari itu juga kesuksesan hidup di akhirat. Dalam teologi ini, semua yang terjadi di alam ini adalah sudah dalam perencanaan Tuhan, namun manusialah yang menentukan apakah perencanaan Tuhan itu dapat mewujud dalam keseharian kita.
Tuhan telah menentukan hukum-hukumnya. Dan kitalah manusia yang mengaplikasikan hukum-hukum tersebut. Sebagai contoh, Tuhan telah merencanakan bahwa untuk menjadi kaya, maka seorang harus mengeluarkan minimal 2,5 % dari  pendapatannya. Maka tunaikanlah itu. Demikian juga, Tuhan telah menetapkan waktu pertemuan dengan manusia minimal 5 kali sehari dalam bentuk sholat, maka kerjakanlah itu supaya kita menjadi sukses, dan lain sebagainya. Dengan teologi sukses, kita akan menjadi sukses. Insya Allah. Hiduplah dalam perencanaan Tuhan sebagaimana dalam doa kita setiap saat Robbana atina fiddun ya hasanah, wafil akhirati hasanatawwaqinaa adzabannar. Wallahu’alam.


Indonesia, 16 April 2012

0 Response to "Teologi Sukses"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme | Blogger Templates | Best Credit Cards