Pesantren Lirboyo


Ringkasan Hasil Penelitian
STANDARDISASI PENGUASAAN KITAB KUNING DI PONDOK
PESANTREN LIRBOYO KEDIRI

Oleh: Aji Sofanudin

A.    PENDAHULUAN
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan tertua di Indonesia yang khusus mengkaji dan mengembangkan kitab kuning.[1] Dalam perkembangannya pondok pesantren tidak hanya fokus pada kajian kitab kuning, melainkan mengembangkan kajian ilmu-ilmu yang bersifat umum atau yang dikembangkan pada sekolah umum.[2] 
Implikasi dari perkembangan pesantren seperti ini memunculkan adanya pesantren salaf dan pesantren modern (kholaf), adanya pesantren yang mengembangkan khusus kitab kuning dan membuka sekolah formal (madrasi), dan adanya pesantren yang hanya mengadopsi istilah pondok pesantren sedangkan didalamnya lebih memfokuskan pada sekolah formal.
Pengembangan pondok pesantren yang mengikuti perkembangan zaman dengan membuka lembaga formal menjadikan pondok pesantren tidak khawatir dari ketertinggalan model pengembangan lembaga pendidikan formal dewasa ini. Pondok pesantren lebih adaptif terhadap perkembangan zaman, akan tetapi tetap mempertahankan tradisi kitab kuningnya. Di sinilah kekuatan pondok pesantren menjadi sub sistem pendidikan nasional dan sampai sekarang masih diminati oleh masyarakat. Hal ini merupakan bukti keberadaannya tetap ada dan diakui.
Jargon pondok pesantren untuk tetap bertahan pada tradisi dan membuka peluang terhadap fenomena-fenomena kekinian adalah Almukhaafadlotul’ala-alQoodimissholih Wal akhdzu biljadiidil ashlah. Jargon ini paling tidak menjadi inspirasi pondok pesantren mengikuti perkembangan zaman yang semakin kompleks dan memiliki tantangan global. Menurut Mastuhu (1994) gerak perjuangan pesantren dalam menetapkan identitas dan susb sistem pendidikan nasional makin mantap dan kokoh kedudukannya serta semakin besar peran dan sumbangnnya dalam memenuhi kebutuhan nasional melalui upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Dinamika pengembangan pondok pesantren juga nampak dari model pengembangan yang tetap mempertahankan prinsip awal pendiriannya, yaitu pengkajian dan pengembangan kitab kuning, baik pada pesantren salafiyah maupun kholafiyah. Ketetapan pada kitab kuning ini menjadikan pondok pesantren memiliki kekhasan tersendiri, hal ini ditambah dengan penekanan kitab kuning yang dipelajari oleh pesantren, seperti pesantren khusus atau kuat dengan kajian fiqih, kajian aqidah, kajian tafsir, dan kajian tasawuf.
Pada pesantren yang memiliki kajian-kajian khusus terhadap kitab-kitab tertentu secara otomatis memiliki standar kitab kuning yang menjadi rujukan pesantren tersebut dan sangat mungkin sekali berbeda antara pesantren yang satu dengan pesantren yang lain. Standar kitab kuning yang dikaji inilah menjadi sangat penting, baik untuk lingkungan pondok pesantren itu sendiri maupun lintas pondok pesantren. Bahkan kesamaan maupun perbedaan kajian kitab kuning yang menjadi standar oleh beberapa pesantren Jawa dan Non Jawa menjadi sebuah varian tersendiri yang akan memperkaya khazanah keilmuan santri sekaligus menjadi sebuah alternatif ketika masyarakat Indonesia akan memperdalam wilayah kajian kitab kuning.
Selain standardisasi kajian kitab kuning yang menjadi ciri khas pondok pesantren juga penguasaan kitab kuning sebagai kajian yang khas memunculkan standardisasi bagi tingkat/level dalam proses pembelajaran pada pondok pesantren itu sendiri, seperti tingkatan ula, wustho, maupun ‘ulya atau bahkan pada tingkatan Ma’had ‘Aly. Tingkatan kitab kuning yang dipelajari adalah untuk menentukan tingkatan kelas atau tingkatan madrasah tersebut.
Meskipun demikian, tetap saja bahwa penampilan kitab kuning banyak tergantung kepada Kyai dan guru yang mengajarkannya (Masyhuri, 1989), sehingga standardisasi kitab kuning memerlukan kajian yang lebih mendalam. Hal ini menurut Suparman Syakur (2011) bahwa dengan corak pemikiran yang kultural sulit mencari standar kitab kuning karena terserah kiai untuk menentukan kitab kuning, baik untuk madzhab Syafi’iyah, Asy’ariyah, maupun Ghazaliyah.
Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas itulah, perlu ada kajian yang lebih fokus dan mendalam tentang bagaimana sebenarnya standar kitab kuning yang dijadikan standar oleh pondok pesantren, baik pesantren salaf maupun pesantren kholaf yang tetap mempertahankan tradisi kitab kuningnya. Hal ini dikarenakan penentuan kitab kuning yang dijadikan standar oleh pondok pesantren, baik salaf maupun kholaf akan  mempengaruhi tingkat/level kelas atau madrasah yang dikembangkan oleh pondok pesantren itu sendiri.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1.    Kitab kuning apakah yang menjadi rujukan/kajian yang dipelajari oleh pesantren Lirboyo Kediri ?
2.    Adakah standar yang ditetapkan oleh pesantren Lirboyo dalam menentukan kitab kuning yang dipelajari ?
3.    Bagaimana pesantren Lirboyo menentukan standar kitab kuning yang ditetapkan untuk setiap jenjang kelas dan jenjang madrasah ?
4.    Apakah orientasi yang ditentukan oleh pesantren Lirboyo berkaitan dengan penetapan kitab kuning yang dijadikan buku pegangan santri ?

C.    TEORI
Pesantren menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, “asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji...”. Akar kata pesantren berasal dari kata “santri”, yaitu istilah yang pada awalnya digunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan tradisional Islam di Jawa dan Madura. Kata “santri” mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat para santri menuntut ilmu. Dalam pemakaian bahasa modern, santri memiliki arti sempit dan arti luas. Dalam pengertian sempit, santri adalah seorang pelajar sekolah agama, sedangkan pengertian luas dan umum, santri mengacu pada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh, rajin shalat, pergi ke masjid pada hari jum’at dan sebagainya.[3]
Setidaknya ditemukan empat teori tentang asal usul kata santri, yaitu adaptasi dari Bahasa Sansekerta, Jawa, Tamil, dan India. Abu Hamid menganggap bahwa perkataan pesantren berasal dari Bahasa Sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Ia berasal dari kata sant yang berarti orang baik dan disambung dengan kata tra yang berarti menolong. Jadi santra berarti orang baik yang suka menolong. Sedangkan pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.
Nurcholis Madjid mengajukan dua pendapat yang dapat dipakai sebagai acuan untuk melihat asal usul perkataan santri. Pendapat pertama mengatakan bahwa santri berasal dari kata sastri dari bahasa Sanskerta, yang artinya melek huruf. Pendapat kedua menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa cantrik, artinya seseorang yang mengabdi kepada seorang guru. Misalnya seseorang yang ingin menguasai keahlian atau kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau menabuh gamelan, ia akan mengikuti seseorang yang sudah ahli di bidang pewayangan tersebut. Pola hubungan guru-cantrik kemudian diteruskan. Pada proses evolusi selanjutnya, istilah guru-cantrik berubah menjadi guru-santri. Karena guru dipakai secara luas, untuk guru yang terkemuka kemudian digunakan kata kyai, yang mengandung arti tua atau sakral, keramat, dan sakti. Pada perkembangan selanjutnya, dikenal istilah kyai-santri.
Sedangkan menurut Johns, sebagaimana dikutip Zamasyari Dhofier, bahwa pesantren berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan CC Berg, juga dikutip Dhofier, mengatakan pesantren berasal dari bahasa India shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, dan buku-buku pengetahuan. Robson sebagaimana dikutip Asrohah berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil Sattiri yang diartikan orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan secara umum.
Dalam perkembangannya hingga kini, pesantren sebagai tempat para santri menuntut ilmu setidaknya telah dibuat tipologinya menjadi dua kelompok. Pertama, tipologi pesantren dibuat berdasarkan elemen yang dimiliki. Kedua, tipologi pesantren didasarkan pada lembaga pendidikan yang diselenggarakannya.
Dengan mendasarkan kepada elemen yang dimiliki, Ziemek berkesimpulan bahwa pesantren pada akhir abad ke 20 M dapat dibedakan menjadi lima tipologi.[4] Tipologi yang diajukan oleh Ziemek itu diikuti oleh Endang Soetari AD dan Ridlwan Nasir. Dengan mendasarkan pada lembaga yang diselenggarakan, kini pesantren dibedakan menjadi tiga atau dua tipologi. Abd Muin dkk, misalnya, membagi pesantren ke dalam tiga tipologi, salafiyah, khalafiyah, dan kombinasi. Sedangkan Husni Rahim, Abd Rahman Assegaf, dan Wardi Bahtiar membagi pesantren ke dalam dua tipologi salafiyah dan khalafiyah.
Pesantren salafiyah, menurut Husni Rahim adalah pesantren yang menyelenggarakan sistem pendidikan Islam non-klasikal dengan metode bandongan dan sorogan dalam mengkaji kitab-kitab klasik (kuning) yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama pada abad pertengahan. Sedangkan pesantren khalafiyah adalah pesantren yang telah mengadopsi sistem pendidikan klasikal dengan kurikulum tertata, mengintegrasikan pengetahuan umum.
Assegaf berpendapat bahwa ciri pesantren salafiyah adalah non-klasikal, tradisional dan mengajarkan murni agama Islam, sedangkan pesantren yang berpola khlafiyah mempunyai lembaga pendidikan klasikal, modern, dan memasukkan mata pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkan. Aktivitas pesantren tradisional difokuskan pada tafaqquh fi ad-din yakni pendalaman pengalaman perluasan dan penguasaan khazanah ajaran Islam. Sedangkan pesantren yang telah memasukkan pelajaran umum di madrasah yang dikembangkannya atau membuka sekolah umum dan tidak hanya mengajarkan kitab Islam klasik, disebut dengan pesantren khalafiyah atau modern.
Berbeda dengan pendapat di atas, Wardi Bakhtiar memasukkan madrasah diniyah sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren Salafiyah. Menurutnya, pesantren Salafiyah yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah teknik pengajaran sebagai pengganti metode sorogan. Pada pesantren ini tidak diajarkan pengetahuan umum. Sedangkan pesantren khalafiyah, selain memberikan pengajaran kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah umum di lingkungan dan di bawah tanggung jawab pesantren.
Di dalam penelitian ini, digunakan tiga tipologi pesantren sebagaimana diajukan oleh Abd Mu’in di atas, yaitu salafiyah, khalafiyah, dan kombinasi. Pesantren salafiyah di sini dicirikan sebagai pesantren yang memfokuskan pada tafaqquh fi ad-din, pengkajian kitab-kitab klasik, dengan metode bandongan, sorogan, maupun klasikal. Pengkajian kitab-kitab klasik dengan metode klasikal yang sering disebut lembaganya dengan madrasah diniyah ini dimasukkan menjadi bagian dari ciri pesantren salafiyah karena lembaga ini menurut UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 30 ayat (4) dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan keagamaan, tidak dikelompokkan ke dalam sekolah umum yang berciri khas Islam. Pesantren khalafiyah adalah pesantren yang telah mengadopsi sistem pendidikan klasikal dengan kurikulum yang tertata dan mengintegrasikan pengetahuan umum, baik dalam bentuk madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam maupun sekolah umum itu sendiri. Salah satu pesantren, yaitu mengajarkan kitab-kitab klasik dengan metode bandongan, sorogan, maupun klasikal, ditiadakan dari kategori pesantren khalafiyah ini. Perpaduan ciri-ciri pesantren salafiyah dan khalafiyah di dalam penelitian ini disebut dengan pesantren kombinasi.
Pada pesantren salafiyah diajarkan hukum-hukum fiqh secara spesifik dan detail. Di samping itu juga diajarkan ilmu tafsir, tauhid, dan hadist. Tidak hanya itu, disitu kita juga diajarkan memahami gramatikal bahasa arab yang merupakan alat untuk memahami Al Qur’an dan Hadist (sebelum melangkah kepada tahap penafsiran) baik ilmu nahwu, shorrof, bahkan ilmu badi’ wal bayan atau sering dikenal dengan ilmu balaghoh.
Semua itu dikemas dengan cara yang klasik pula yaitu dengan memberi makna tepat dibawah kalimat Arab dengan bahasa Indonesia atau jawa. Budaya itulah yang menjadi pakem dari pesantren salafiyah sehingga tidak heran jika banyak para santri yang mampu menjawab permasalahan keseharian yang timbul di masyarakat karena kebiasan mereka yang telah dididik untuk mencari jawaban setiap permasalahan berdasar dalil-dalil yang diambil dari al-Quran, hadist, dan kitab kitab salafiyah yang muktabar.
Pesantren salafiyah sendiri secara tidak sengaja mempunyai karakteristik yang membedakan antara setiap pesantren yang satu dengan yang lain. Misalnya pondok Langitan yang cenderung ke fiqh dan pondok Lasem Jawa Tengah yang cenderung ke nahwu. Hal ini bukan karena mengunggulkan satu bidang ilmu tapi tidak lebih karena tujuan prospek melahirkan pakar ilmu yang benar benar ahli dalam bidangnya.
Belakangan muncullah wacana tentang standarisasi pesantren khususnya salafiyah, sebab selama ini belum ada aturan baku yang bisa dijadikan acuan sistem pendidikan berbasis agama itu. Tahun 2003, Departemen Pendidikan Nasional membentuk tim “muadalah” di lingkungan Pondok Pesantren Indonesia, tim ini menetapkan 9 standar minimal pondok pesantren di Indonesia:
o   Kurikulum/proses belajar mengajar
o   Manajemen dan administrasi lembaga
o   Sarana dan prasarana
o   Tenaga pengelola
o   Dana/Biaya
o   Manajemen santri dan ekstrakurikuler
o   Pengabdian dan partisipasi masyarakat
o   Budaya dan disiplin pesantren
o   Alumni pesantren.

D.    METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sasaran penelitian ini adalah pondok pesantren salaf yang tetap mempertahankan tradisi pengembangan dan pengkajian kitab kuning. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara, telaah dokumen, dan pengamatan. Wawancara digunakan untuk memperoleh data yang terkait dengan pondok pesantren, baik terkait dengan Kiai/ustadz yang mengasuh atau menyampaikan materi kitab kuning, bahan atau kitab kuning yang dijadikan materi inti maupun materi tambahan di pondok pesantren, sarana dan prasarana yang dijadikan alat untuk pengembangan pembelajaran, metode pembelajaran yang digunakan dalam proses pengajaran. Telaah dokumen digunakan untuk menggali kitab-kitab kuning yang dijadikan rujukan utama pembelajaran.
Teknik pengamatan digunakan untuk memperoleh data yang dihasilkan dari proses pengamatan, baik terkait dengan interaksi Kiai/ustadz-santri dan santri-santri, interaksi dalam pembelajaran pada saat pengajaran model sorogan maupun bandongan, dan berbagai kegiatan yang terstruktur/terjadwal maupun kegiatan yang insidental/tidak terstruktur. Di samping ketiga teknik tersebut, juga dilakukan teknik triangulasi data untuk memperoleh data yang tidak hanya dari satu sumber, akan tetapi dari berbagai sumber yang relevan dengan fokus kajian.

E.     HASIL PENELITIAN
1.      Sekilas Pesantren Lirboyo
Pesantren Lirboyo terletak di kelurahan Lirboyo, kecamatan Mojoroto, kota Kediri, sekitar 3 km dari kota Kediri ke arah barat. Kota Kediri berada di Jawa Timur yang terletak sekitar 105 km arah barat daya Surabaya. Kota Kediri terdiri atas 3 (tiga) kecamatan, yaitu Mojoroto, Kota, dan Pesantren. Secara geografis, pesantren Lirboyo, mempunyai letak yang relatif strategis. Ia terletak di sebelah timur jalan raya yang dilalui kendaraan penumpang umum dengan route Blitar, Tulung Agung, atau Trenggalek yang menuju Nganjuk, Surabaya, atau Malang.
Pesantren Lirboyo, terdiri atas pesantren induk dan pesantren unit. Secara umum, pesantren unit tumbuh dan berkembang sejalan dengan bertambahnya ‘Gus’. Pesantren unit terdiri atas 9 pesantren. Sekarang HM al-Mahrusiyah terdiri atas HM Putera Al-Mahrussiyah dan HM Puteri Al-Mahrusiyah. Ditambah yang induk (Madrasah Hidayatul Mubtadi’in), sehingga berjumlah 11. Selain itu, pesantren Lirboyo memiliki beberapa cabang: (1) Pagung Semen Kediri, (2) Turen, Malang, (3) Bakung, Blitar.
Keseluruhan lokasi pesantren Lirboyo menempati lahan sekitar 20 ha. Berikut ini adalah denah pesantren Lirboyo Kediri.



Jumlah santri di 38 pesantren yang ada di kota Kediri sebanyak 13.365 pada tahun 2010, 59,21 % atau tepatnya 7.914 santri di antaranya belajar di Pesantren Lirboyo Kediri. Data ini memperlihatkan bahwa Pesantren Lirboyo, baik induk maupun unit-unitnya, mempunyai daya tarik paling tinggi bila dibandingkan dengan pesantren lainnya di Kediri.[5]
Berikut ini adalah data statistik santri Pondok Pesantren Lirboyo dari tahun 2008.[6]
No
Pesantren
Periode
2008-2009
2009-2010
2010-2011
1
Pondok Induk
4195
4028
4098
2
Unit HM
634
575
595
3
Unit P3HMQ
78
202
192
4
Unit HY
487
443
469
5
Unit Mahrusy putra
965
705
699
6
Unit Mahrusy puteri
373
373
313
7
Unit P3TQ
317
340
383
8
IAI Tri Bakti
-
1.242
1150
9
Unit P3HM
704
691
715
10
Unit HMA
157
173
150
11
Unit DS
142
178
169
12
Unit Ar Risalah
265
252
283
13
Unit PPMQ
78
185
198
14
Unit cabang Pagung
143
143
158
15
Unit cabang Turen
19
15
22
16
Santri Nduduk
733
676
565
17
Cabang Bakung Blitar
-
-
84
Jumlah
9.253
10.282
10.243

Dalam lintasan sejarah, pada tahun 1926, santri pesantren Lirboyo mencapai sekitar 80 orang. Tiga tahun berikutnya santrinya bertambah mencapai sekitar 200 orang dan pada pertengahan tahun 1930-an santri Lirboyo mencapai 500 orang. Pada masa kolonial Jepang keadaan santri Lirboyo tercatat sekitar 750 orang. Jumlah ini terus bertahan hingga wafatnya KH Abdul Karim pada tahun 1954 M bertepatan dengan tanggal 21 Ramadlan 1374 H.[7]
Lembaga-lembaga pendidikan yang diseleng-garakan oleh seluruh pesantren di Lirboyo dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1
Lembaga Pendidikan yang Diselenggarakan Pesantren Lirboyo
 dan Unit-unitnya

No
Pontren
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
Induk
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
-
-
-
-
-
Ö
2
HM al-Mahrusiyyah
Ö
-
-
-
Ö
Ö
Ö
Ö
-
-
-
Ö
3
HM
Ö
Ö
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Ö
4
HY
Ö
Ö
-
Ö
Ö
Ö
-
-
-
-
-
Ö
5
Putri Hidayatul Mubtadi’at
Ö
Ö
-
Ö
Ö
-
-
-
-
-
-
Ö
6
HMQ
Ö
Ö
-
Ö
Ö
-
-
-
-
-
-
Ö
7
Salafy terpadu Ar-Risalah
Ö
Ö
-
Ö
Ö
Ö
-
-
Ö
Ö
Ö
Ö
8
HM Antara
Ö
Ö
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Ö
9
Tahfiz al-Qur’an
Ö
Ö
-
Ö
Ö
Ö
-
-
-
-
-
Ö
10
Dar as-Salam
Ö
Ö
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Ö
Secara administratif, kota Kediri terdiri atas 3 kecamatan, yaitu (1) Mojoroto, (2) Pesantren, dan (3) Kota. Dilihat dari jumlah pesantren, tampak sebagai berikut.
Tabel 4.2

No
Kecamatan
Jumlah
1
Mojoroto
24
2
Pesantren
8
3
Kota
6
Jumlah
38
Sumber: Kemenag, 2011

Dilihat dari tipe pondok pesantren tampak sebagai berikut
Tabel 4.3

No
Tipe Pesantren
Jumlah
1
Salafiyah
15
2
Khalafiyah
4
3
Kombinasi
19
Jumlah
38
Sumber: kemenag, 2011

Jumlah keseluruhan santri di PP Lirboyo adalah 7.914 santri. Bila dibandingkan dengan jumlah santri di 38 pesantren yang ada di kota Kediri sebanyak 13.365 pada tahun 2010, 59,21 % atau tepatnya 7.914 santri di antaranya belajar di Pesantren Lirboyo Kediri. Data ini memperlihatkan bahwa Pesantren Lirboyo, baik induk maupun unit-unitnya, mempunyai daya tarik paling tinggi bila dibandingkan dengan pesantren lainnya di Kediri.[8]



4.1  Pengajaran Kitab Kuning MHM
MHM kepanjangan dari Madrasah Hidayatul Mubtadi’in. Inisiatif pendirian MHM sudah dimulai sekitar awal tahun 1920-an. Jamhuri santri senior asal Kendal, mempunyai inisiatif untuk membuka madrasah di pesantren Lirboyo. Pendirian madrasah ini diduga merupakan pengaruh dari berdirinya Madrasah Salafiyah di Tebuireng, yang didirikan pada tahun 1916, di mana KH Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo adalah alumnus dari Pesantren Tebuireng tersebut.[9]
Sebelum MHM didirikan, mula-mula sistem pendidikan yang digunakan di Pesantren Lirboyo adalah sistem bandongan atau wetonan dan sorogan. Sistem bandongan atau wetonan diaplikasikan dengan cara santri secara bersama-sama menulis makna dari kyai yang sedang membaca kitab kuning. Sementara sistem sorogan dilaksanakan dengan cara santri satu-persatu membaca kitab secara langsung di hadapan kyai. Sistem yang disebutkan pertama membutuhkan keterampilan dasar dari santri, yaitu menulis dan gramatika Arab. Sementara sistem kedua membutuhkan kesabaran dan ketelatenan, baik dari kyai maupun santrinya.
Berikut ini adalah daftar mata pelajaran Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien.
  1. Tingkat I’dadiyah

No
Mata Pelajaran
Nama Kitab
Kelas
1
Al-Qur’an
Al-Qur’an
I dan II
2
Ilmu Tauhid
Aqidah al-Awwam
I


Matan Ibrahim al-Bajuriy
II
3
Fiqh
Safinah as-Salah
I


Sullam al-Taufiq
II
4
Nahwu
Al-Awamil
I


Al-Jurumiyah
II
5
Sharf
Qaidah Nasr
I


Al-Amsilah al-Tasrifiyah
I dan II


Al-Qawaaid as-Sarfiyah
II
6
Ilmu Tajwid
Hidayah as Sibyan
I


Tuhfah al-Atfal
II
7
Ilmu Akhlaq
Nazm al-Matlab
I


Taisir al-Khallaq
II
8
Ilmu Khat
Kitabah
I
9
Bahasa Arab
Ta’lim al-Lughah al-Arabiyah I
I


Ta’lim al-Lughah al-Arabiyah II
II

  1. Tingkat Ibtidaiyah

No
Mata Pelajaran
Nama Kitab
Kelas & Ket
1
Al-Qur’an
Al-Qur’an
I Alfatihah s.d al-Zalzalah



II Al-Bayyinah s.d al-Naba



III Juz I-VI



IV Juz VI-XI



V Juz XI-XVI



VI Juz XVI-XX
2
Hadits
Al-Arbain al-Nawawiyah
V


Bulughul Marom
VI
3
Tajwid
Zad Mubtadi
I & II


Aqidah al Awam
III


Matan Ibrahim al-Bajuriy
IV


Al-Kharidah al-Bahiyah
V


As-Sanusiyah
VI
4
Fiqh
Fasalatan
I


Hidayah al-Mubtadi



Safinah al-Salah
II


Tanwir al-Hija
III


Sullam at-Taufiq
IV


Fath al-Qarib
V dan VI


Uyun al-Masail li an-Nisa
VI
5
Nahwu
Al-Awamil
III


Al-Jurumiyah
IV


Al-Fushul al-Fikriyah
V


Al-Amriti
VI
6
Sharf
Al-Amsilah al-Tasrifiyah
III


Qaidah Nasar
III


Al-Amsilah al-Tasrifiyah
IV


Al-Qawaid al-Sarfiyah
IV


Al-I’lal
IV


Al-Amsilah al-Tasrifiyah
V


Al-I’lal
V


Al-Maqsud
VI
7
Ilmu Tajwid
Fath al-Rahman
II


Hidayah al-Sibyan
III


Tuhfah al-Atfal
IV


Al-Jazariyah
V
8
Ilmu Akhlak
Nazm al-Akhlak
I


Nazm al-Matlab
II


Wasaya
III


Tahliyah
IV


Taisir al-Khallaq
V
9
Ilmu Imla
Qawaid al-Imla
VI
10
Ilmu khat
Mabadi Qiraah Asriyah
I dan II
11
Bahasa Arab
Ra’sun sirah
I


Mabadi Muhawarah li al-Atfal
II


Ta’lim al-lughah al-Arabiyah
III s.d V
12
Bahasa Indonesia
Diknas
I
13
Bahasa Jawa
Ngeluri Basa Jawa
I


Tarikh Anbiya
I
14
Sejarah Islam
Khulasah Nur al-Yaqin
IV dan V
15
Sejarah Indonesia
Ke-NU-an
II s.d IV
16
Ilmu hitung
A-Ba-Ja-Dun
I dan II
17
Administrasi
Administrasi
VI

2 Response to "Pesantren Lirboyo"

  1. Unknown says:

    Assalamualaikum.. dari unit-unit pesantren yang ada, mana saja unit terbaik? dan apa saja perbedaannya? terimakasih
    Wassalamualaikum..

    Unknown says:

    semuanya baik dan sangat rekomondet brow,,,,
    tp menyesuiakan kebutuhan.... karna per unit beda pula fungsi nya....

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme | Blogger Templates | Best Credit Cards