Pesantren Lirboyo
19.58
ISLAMIC RESEARCH
, Posted in
Artikel
,
2 Comments
Ringkasan Hasil
Penelitian
STANDARDISASI PENGUASAAN KITAB
KUNING DI PONDOK
PESANTREN LIRBOYO KEDIRI
Oleh: Aji Sofanudin
A.
PENDAHULUAN
Pondok Pesantren
merupakan lembaga pendidikan keagamaan tertua di Indonesia yang khusus mengkaji
dan mengembangkan kitab kuning.[1]
Dalam perkembangannya pondok pesantren tidak hanya fokus pada kajian kitab
kuning, melainkan mengembangkan kajian ilmu-ilmu yang bersifat umum atau yang
dikembangkan pada sekolah umum.[2]
Implikasi dari
perkembangan pesantren seperti ini memunculkan adanya pesantren salaf dan
pesantren modern (kholaf), adanya
pesantren yang mengembangkan khusus kitab kuning dan membuka sekolah formal
(madrasi), dan adanya pesantren yang hanya mengadopsi istilah pondok pesantren
sedangkan didalamnya lebih memfokuskan pada sekolah formal.
Pengembangan
pondok pesantren yang mengikuti perkembangan zaman dengan membuka lembaga
formal menjadikan pondok pesantren tidak khawatir dari ketertinggalan model
pengembangan lembaga pendidikan formal dewasa ini. Pondok pesantren lebih
adaptif terhadap perkembangan zaman, akan tetapi tetap mempertahankan tradisi
kitab kuningnya. Di sinilah kekuatan pondok pesantren menjadi sub sistem
pendidikan nasional dan sampai sekarang masih diminati oleh masyarakat. Hal ini
merupakan bukti keberadaannya tetap ada dan diakui.
Jargon pondok
pesantren untuk tetap bertahan pada tradisi dan membuka peluang terhadap
fenomena-fenomena kekinian adalah Almukhaafadlotul’ala-alQoodimissholih
Wal akhdzu biljadiidil ashlah. Jargon ini paling tidak menjadi inspirasi
pondok pesantren mengikuti perkembangan zaman yang semakin kompleks dan
memiliki tantangan global. Menurut Mastuhu (1994) gerak perjuangan pesantren
dalam menetapkan identitas dan susb sistem pendidikan nasional makin mantap dan
kokoh kedudukannya serta semakin besar peran dan sumbangnnya dalam memenuhi
kebutuhan nasional melalui upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Dinamika
pengembangan pondok pesantren juga nampak dari model pengembangan yang tetap
mempertahankan prinsip awal pendiriannya, yaitu pengkajian dan pengembangan
kitab kuning, baik pada pesantren salafiyah maupun kholafiyah. Ketetapan pada
kitab kuning ini menjadikan pondok pesantren memiliki kekhasan tersendiri, hal
ini ditambah dengan penekanan kitab kuning yang dipelajari oleh pesantren,
seperti pesantren khusus atau kuat dengan kajian fiqih, kajian aqidah, kajian
tafsir, dan kajian tasawuf.
Pada pesantren
yang memiliki kajian-kajian khusus terhadap kitab-kitab tertentu secara
otomatis memiliki standar kitab kuning yang menjadi rujukan pesantren tersebut
dan sangat mungkin sekali berbeda antara pesantren yang satu dengan pesantren
yang lain. Standar kitab kuning yang dikaji inilah menjadi sangat penting, baik
untuk lingkungan pondok pesantren itu sendiri maupun lintas pondok pesantren.
Bahkan kesamaan maupun perbedaan kajian kitab kuning yang menjadi standar oleh
beberapa pesantren Jawa dan Non Jawa menjadi sebuah varian tersendiri yang akan
memperkaya khazanah keilmuan santri sekaligus menjadi sebuah alternatif ketika
masyarakat Indonesia akan memperdalam wilayah kajian kitab kuning.
Selain
standardisasi kajian kitab kuning yang menjadi ciri khas pondok pesantren juga
penguasaan kitab kuning sebagai kajian yang khas memunculkan standardisasi bagi
tingkat/level dalam proses pembelajaran pada pondok pesantren itu sendiri,
seperti tingkatan ula, wustho, maupun
‘ulya atau bahkan pada tingkatan Ma’had ‘Aly. Tingkatan kitab kuning yang
dipelajari adalah untuk menentukan tingkatan kelas atau tingkatan madrasah
tersebut.
Meskipun
demikian, tetap saja bahwa penampilan kitab kuning banyak tergantung kepada
Kyai dan guru yang mengajarkannya (Masyhuri, 1989), sehingga standardisasi
kitab kuning memerlukan kajian yang lebih mendalam. Hal ini menurut Suparman
Syakur (2011) bahwa dengan corak pemikiran yang kultural sulit mencari standar
kitab kuning karena terserah kiai untuk menentukan kitab kuning, baik untuk
madzhab Syafi’iyah, Asy’ariyah, maupun Ghazaliyah.
Berangkat dari
latar belakang permasalahan di atas itulah, perlu ada kajian yang lebih fokus
dan mendalam tentang bagaimana sebenarnya standar kitab kuning yang dijadikan
standar oleh pondok pesantren, baik pesantren salaf maupun pesantren kholaf
yang tetap mempertahankan tradisi kitab kuningnya. Hal ini dikarenakan
penentuan kitab kuning yang dijadikan standar oleh pondok pesantren, baik salaf
maupun kholaf akan mempengaruhi
tingkat/level kelas atau madrasah yang dikembangkan oleh pondok pesantren itu
sendiri.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas,
peneliti merumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1.
Kitab kuning apakah yang menjadi rujukan/kajian yang
dipelajari oleh pesantren Lirboyo Kediri ?
2.
Adakah standar yang ditetapkan oleh pesantren Lirboyo
dalam menentukan kitab kuning yang dipelajari ?
3.
Bagaimana pesantren Lirboyo menentukan standar kitab
kuning yang ditetapkan untuk setiap jenjang kelas dan jenjang madrasah ?
4.
Apakah orientasi yang ditentukan oleh pesantren Lirboyo
berkaitan dengan penetapan kitab kuning yang dijadikan buku pegangan santri ?
C.
TEORI
Pesantren menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti, “asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji...”.
Akar kata pesantren berasal dari kata “santri”, yaitu istilah yang pada awalnya
digunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan
tradisional Islam di Jawa dan Madura. Kata “santri” mendapat awalan “pe” dan
akhiran “an” yang berarti tempat para santri menuntut ilmu. Dalam pemakaian
bahasa modern, santri memiliki arti sempit dan arti luas. Dalam pengertian
sempit, santri adalah seorang pelajar sekolah agama, sedangkan pengertian luas
dan umum, santri mengacu pada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang
menganut Islam dengan sungguh-sungguh, rajin shalat, pergi ke masjid pada hari
jum’at dan sebagainya.[3]
Setidaknya ditemukan empat teori tentang asal
usul kata santri, yaitu adaptasi dari Bahasa Sansekerta, Jawa, Tamil, dan
India. Abu Hamid menganggap bahwa perkataan pesantren berasal dari Bahasa
Sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa
Indonesia. Ia berasal dari kata sant yang berarti orang baik dan
disambung dengan kata tra yang berarti menolong. Jadi santra berarti
orang baik yang suka menolong. Sedangkan pesantren berarti tempat untuk membina
manusia menjadi orang baik.
Nurcholis Madjid mengajukan dua pendapat yang
dapat dipakai sebagai acuan untuk melihat asal usul perkataan santri. Pendapat
pertama mengatakan bahwa santri berasal dari kata sastri dari bahasa
Sanskerta, yang artinya melek huruf. Pendapat kedua menyatakan bahwa kata
santri berasal dari bahasa Jawa cantrik, artinya seseorang yang mengabdi kepada
seorang guru. Misalnya seseorang yang ingin menguasai keahlian atau kepandaian
dalam pewayangan, menjadi dalang atau menabuh gamelan, ia akan mengikuti
seseorang yang sudah ahli di bidang pewayangan tersebut. Pola hubungan
guru-cantrik kemudian diteruskan. Pada proses evolusi selanjutnya, istilah
guru-cantrik berubah menjadi guru-santri. Karena guru dipakai secara luas,
untuk guru yang terkemuka kemudian digunakan kata kyai, yang mengandung arti
tua atau sakral, keramat, dan sakti. Pada perkembangan selanjutnya, dikenal
istilah kyai-santri.
Sedangkan menurut Johns, sebagaimana dikutip
Zamasyari Dhofier, bahwa pesantren berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru
mengaji. Sedangkan CC Berg, juga dikutip Dhofier, mengatakan pesantren berasal
dari bahasa India shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama,
dan buku-buku pengetahuan. Robson sebagaimana dikutip Asrohah berpendapat bahwa
kata santri berasal dari bahasa Tamil Sattiri yang diartikan orang yang tinggal
di sebuah rumah miskin atau bangunan secara umum.
Dalam perkembangannya hingga kini, pesantren
sebagai tempat para santri menuntut ilmu setidaknya telah dibuat tipologinya
menjadi dua kelompok. Pertama, tipologi pesantren dibuat berdasarkan elemen
yang dimiliki. Kedua, tipologi pesantren didasarkan pada lembaga pendidikan
yang diselenggarakannya.
Dengan mendasarkan kepada elemen yang dimiliki,
Ziemek berkesimpulan bahwa pesantren pada akhir abad ke 20 M dapat dibedakan
menjadi lima tipologi.[4]
Tipologi yang diajukan oleh Ziemek itu diikuti oleh Endang Soetari AD dan
Ridlwan Nasir. Dengan mendasarkan pada lembaga yang diselenggarakan, kini
pesantren dibedakan menjadi tiga atau dua tipologi. Abd Muin dkk, misalnya,
membagi pesantren ke dalam tiga tipologi, salafiyah, khalafiyah, dan kombinasi.
Sedangkan Husni Rahim, Abd Rahman Assegaf, dan Wardi Bahtiar membagi pesantren
ke dalam dua tipologi salafiyah dan khalafiyah.
Pesantren salafiyah, menurut Husni Rahim adalah
pesantren yang menyelenggarakan sistem pendidikan Islam non-klasikal dengan
metode bandongan dan sorogan dalam mengkaji kitab-kitab klasik (kuning) yang
ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama pada abad pertengahan. Sedangkan
pesantren khalafiyah adalah pesantren yang telah mengadopsi sistem pendidikan
klasikal dengan kurikulum tertata, mengintegrasikan pengetahuan umum.
Assegaf berpendapat bahwa ciri pesantren
salafiyah adalah non-klasikal, tradisional dan mengajarkan murni agama Islam,
sedangkan pesantren yang berpola khlafiyah mempunyai lembaga pendidikan
klasikal, modern, dan memasukkan mata pelajaran umum dalam madrasah yang
dikembangkan. Aktivitas pesantren tradisional difokuskan pada tafaqquh fi
ad-din yakni pendalaman pengalaman perluasan dan penguasaan khazanah ajaran
Islam. Sedangkan pesantren yang telah memasukkan pelajaran umum di madrasah
yang dikembangkannya atau membuka sekolah umum dan tidak hanya mengajarkan
kitab Islam klasik, disebut dengan pesantren khalafiyah atau modern.
Berbeda dengan pendapat di atas, Wardi Bakhtiar
memasukkan madrasah diniyah sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan
oleh pesantren Salafiyah. Menurutnya, pesantren Salafiyah yaitu pesantren yang
mengajarkan kitab-kitab Islam klasik. Sistem madrasah diterapkan untuk
mempermudah teknik pengajaran sebagai pengganti metode sorogan. Pada pesantren
ini tidak diajarkan pengetahuan umum. Sedangkan pesantren khalafiyah, selain
memberikan pengajaran kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah umum di
lingkungan dan di bawah tanggung jawab pesantren.
Di dalam penelitian ini, digunakan tiga tipologi
pesantren sebagaimana diajukan oleh Abd Mu’in di atas, yaitu salafiyah,
khalafiyah, dan kombinasi. Pesantren salafiyah di sini dicirikan sebagai
pesantren yang memfokuskan pada tafaqquh fi ad-din, pengkajian kitab-kitab
klasik, dengan metode bandongan, sorogan, maupun klasikal. Pengkajian
kitab-kitab klasik dengan metode klasikal yang sering disebut lembaganya dengan
madrasah diniyah ini dimasukkan menjadi bagian dari ciri pesantren salafiyah
karena lembaga ini menurut UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 30 ayat (4)
dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan keagamaan, tidak dikelompokkan ke
dalam sekolah umum yang berciri khas Islam. Pesantren khalafiyah adalah
pesantren yang telah mengadopsi sistem pendidikan klasikal dengan kurikulum
yang tertata dan mengintegrasikan pengetahuan umum, baik dalam bentuk madrasah
sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam maupun sekolah umum itu sendiri.
Salah satu pesantren, yaitu mengajarkan kitab-kitab klasik dengan metode bandongan,
sorogan, maupun klasikal, ditiadakan dari kategori pesantren khalafiyah ini.
Perpaduan ciri-ciri pesantren salafiyah dan khalafiyah di dalam penelitian ini
disebut dengan pesantren kombinasi.
Pada pesantren salafiyah diajarkan hukum-hukum
fiqh secara spesifik dan detail. Di samping itu juga diajarkan ilmu tafsir,
tauhid, dan hadist. Tidak hanya itu, disitu kita juga diajarkan memahami
gramatikal bahasa arab yang merupakan alat untuk memahami Al Qur’an dan Hadist
(sebelum melangkah kepada tahap penafsiran) baik ilmu nahwu, shorrof,
bahkan ilmu badi’ wal bayan atau sering dikenal dengan ilmu balaghoh.
Semua itu dikemas dengan cara yang klasik pula
yaitu dengan memberi makna tepat dibawah kalimat Arab dengan bahasa Indonesia
atau jawa. Budaya itulah yang menjadi pakem dari pesantren salafiyah sehingga
tidak heran jika banyak para santri yang mampu menjawab permasalahan keseharian
yang timbul di masyarakat karena kebiasan mereka yang telah dididik untuk
mencari jawaban setiap permasalahan berdasar dalil-dalil yang diambil dari
al-Quran, hadist, dan kitab kitab salafiyah yang muktabar.
Pesantren salafiyah sendiri secara tidak sengaja
mempunyai karakteristik yang membedakan antara setiap pesantren yang satu
dengan yang lain. Misalnya pondok Langitan yang cenderung ke fiqh dan pondok
Lasem Jawa Tengah yang cenderung ke nahwu. Hal ini bukan karena mengunggulkan
satu bidang ilmu tapi tidak lebih karena tujuan prospek melahirkan pakar ilmu
yang benar benar ahli dalam bidangnya.
Belakangan muncullah wacana tentang standarisasi
pesantren khususnya salafiyah, sebab selama ini belum ada aturan baku yang bisa
dijadikan acuan sistem pendidikan berbasis agama itu. Tahun 2003, Departemen
Pendidikan Nasional membentuk tim “muadalah” di lingkungan Pondok Pesantren
Indonesia, tim ini menetapkan 9 standar minimal pondok pesantren di Indonesia:
o
Kurikulum/proses belajar mengajar
o
Manajemen dan administrasi lembaga
o
Sarana dan prasarana
o
Tenaga pengelola
o
Dana/Biaya
o
Manajemen santri dan ekstrakurikuler
o
Pengabdian dan partisipasi masyarakat
o
Budaya dan disiplin pesantren
o
Alumni pesantren.
D.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sasaran penelitian ini adalah pondok pesantren salaf
yang tetap mempertahankan tradisi pengembangan dan pengkajian kitab kuning. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara, telaah
dokumen, dan pengamatan. Wawancara digunakan untuk memperoleh data yang terkait
dengan pondok pesantren, baik terkait dengan Kiai/ustadz yang mengasuh atau
menyampaikan materi kitab kuning, bahan atau kitab kuning yang dijadikan materi
inti maupun materi tambahan di pondok pesantren, sarana dan prasarana yang
dijadikan alat untuk pengembangan pembelajaran, metode pembelajaran yang
digunakan dalam proses pengajaran. Telaah dokumen digunakan untuk menggali
kitab-kitab kuning yang dijadikan rujukan utama pembelajaran.
Teknik pengamatan digunakan untuk memperoleh data yang dihasilkan dari
proses pengamatan, baik terkait dengan interaksi Kiai/ustadz-santri dan
santri-santri, interaksi dalam pembelajaran pada saat pengajaran model sorogan
maupun bandongan, dan berbagai kegiatan yang terstruktur/terjadwal maupun
kegiatan yang insidental/tidak terstruktur. Di samping ketiga teknik tersebut,
juga dilakukan teknik triangulasi data untuk memperoleh data yang tidak hanya
dari satu sumber, akan tetapi dari berbagai sumber yang relevan dengan fokus
kajian.
E.
HASIL PENELITIAN
1. Sekilas Pesantren Lirboyo
Pesantren Lirboyo terletak di
kelurahan Lirboyo, kecamatan Mojoroto, kota Kediri, sekitar 3 km dari kota
Kediri ke arah barat. Kota Kediri berada di Jawa Timur yang terletak sekitar
105 km arah barat daya Surabaya. Kota Kediri terdiri atas 3 (tiga) kecamatan,
yaitu Mojoroto, Kota, dan Pesantren. Secara geografis, pesantren Lirboyo,
mempunyai letak yang relatif strategis. Ia terletak di sebelah timur jalan raya
yang dilalui kendaraan penumpang umum dengan route Blitar, Tulung Agung, atau
Trenggalek yang menuju Nganjuk, Surabaya, atau Malang.
Pesantren Lirboyo, terdiri atas
pesantren induk dan pesantren unit. Secara umum, pesantren unit tumbuh dan
berkembang sejalan dengan bertambahnya ‘Gus’. Pesantren unit terdiri atas 9
pesantren. Sekarang HM al-Mahrusiyah terdiri atas HM Putera Al-Mahrussiyah dan
HM Puteri Al-Mahrusiyah. Ditambah yang induk (Madrasah Hidayatul Mubtadi’in),
sehingga berjumlah 11. Selain itu, pesantren Lirboyo memiliki beberapa cabang:
(1) Pagung Semen Kediri, (2) Turen, Malang, (3) Bakung, Blitar.
Keseluruhan lokasi pesantren Lirboyo
menempati lahan sekitar 20 ha. Berikut ini adalah denah pesantren Lirboyo
Kediri.
Jumlah santri di 38 pesantren yang
ada di kota Kediri sebanyak 13.365 pada tahun 2010, 59,21 % atau tepatnya 7.914
santri di antaranya belajar di Pesantren Lirboyo Kediri. Data ini
memperlihatkan bahwa Pesantren Lirboyo, baik induk maupun unit-unitnya,
mempunyai daya tarik paling tinggi bila dibandingkan dengan pesantren lainnya
di Kediri.[5]
Berikut ini adalah data statistik
santri Pondok Pesantren Lirboyo dari tahun 2008.[6]
No
|
Pesantren
|
Periode
|
||
2008-2009
|
2009-2010
|
2010-2011
|
||
1
|
Pondok Induk
|
4195
|
4028
|
4098
|
2
|
Unit HM
|
634
|
575
|
595
|
3
|
Unit P3HMQ
|
78
|
202
|
192
|
4
|
Unit HY
|
487
|
443
|
469
|
5
|
Unit Mahrusy putra
|
965
|
705
|
699
|
6
|
Unit Mahrusy puteri
|
373
|
373
|
313
|
7
|
Unit P3TQ
|
317
|
340
|
383
|
8
|
IAI Tri Bakti
|
-
|
1.242
|
1150
|
9
|
Unit P3HM
|
704
|
691
|
715
|
10
|
Unit HMA
|
157
|
173
|
150
|
11
|
Unit DS
|
142
|
178
|
169
|
12
|
Unit Ar Risalah
|
265
|
252
|
283
|
13
|
Unit PPMQ
|
78
|
185
|
198
|
14
|
Unit cabang Pagung
|
143
|
143
|
158
|
15
|
Unit cabang Turen
|
19
|
15
|
22
|
16
|
Santri Nduduk
|
733
|
676
|
565
|
17
|
Cabang Bakung Blitar
|
-
|
-
|
84
|
Jumlah
|
9.253
|
10.282
|
10.243
|
Dalam lintasan sejarah, pada tahun
1926, santri pesantren Lirboyo mencapai sekitar 80 orang. Tiga tahun berikutnya
santrinya bertambah mencapai sekitar 200 orang dan pada pertengahan tahun
1930-an santri Lirboyo mencapai 500 orang. Pada masa kolonial Jepang keadaan santri
Lirboyo tercatat sekitar 750 orang. Jumlah ini terus bertahan hingga wafatnya
KH Abdul Karim pada tahun 1954 M bertepatan dengan tanggal 21 Ramadlan 1374 H.[7]
Lembaga-lembaga pendidikan yang diseleng-garakan oleh seluruh pesantren di
Lirboyo dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1
Lembaga Pendidikan yang Diselenggarakan Pesantren Lirboyo
dan Unit-unitnya
No
|
Pontren
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
1
|
Induk
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ö
|
2
|
HM al-Mahrusiyyah
|
Ö
|
-
|
-
|
-
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
-
|
-
|
-
|
Ö
|
3
|
HM
|
Ö
|
Ö
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ö
|
4
|
HY
|
Ö
|
Ö
|
-
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ö
|
5
|
Putri Hidayatul
Mubtadi’at
|
Ö
|
Ö
|
-
|
Ö
|
Ö
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ö
|
6
|
HMQ
|
Ö
|
Ö
|
-
|
Ö
|
Ö
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ö
|
7
|
Salafy terpadu
Ar-Risalah
|
Ö
|
Ö
|
-
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
-
|
-
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
8
|
HM Antara
|
Ö
|
Ö
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ö
|
9
|
Tahfiz al-Qur’an
|
Ö
|
Ö
|
-
|
Ö
|
Ö
|
Ö
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ö
|
10
|
Dar as-Salam
|
Ö
|
Ö
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ö
|
Secara administratif, kota Kediri terdiri atas 3 kecamatan, yaitu (1)
Mojoroto, (2) Pesantren, dan (3) Kota. Dilihat dari jumlah pesantren, tampak
sebagai berikut.
Tabel 4.2
No
|
Kecamatan
|
Jumlah
|
1
|
Mojoroto
|
24
|
2
|
Pesantren
|
8
|
3
|
Kota
|
6
|
Jumlah
|
38
|
Sumber: Kemenag, 2011
Dilihat dari tipe pondok pesantren tampak sebagai berikut
Tabel 4.3
No
|
Tipe
Pesantren
|
Jumlah
|
1
|
Salafiyah
|
15
|
2
|
Khalafiyah
|
4
|
3
|
Kombinasi
|
19
|
Jumlah
|
38
|
Sumber: kemenag, 2011
Jumlah keseluruhan santri di PP Lirboyo adalah 7.914 santri. Bila
dibandingkan dengan jumlah santri di
38 pesantren yang ada di kota Kediri sebanyak 13.365 pada tahun 2010, 59,21 %
atau tepatnya 7.914 santri di antaranya belajar di Pesantren Lirboyo Kediri.
Data ini memperlihatkan bahwa Pesantren Lirboyo, baik induk maupun
unit-unitnya, mempunyai daya tarik paling tinggi bila dibandingkan dengan
pesantren lainnya di Kediri.[8]
4.1 Pengajaran
Kitab Kuning MHM
MHM kepanjangan dari Madrasah Hidayatul Mubtadi’in. Inisiatif pendirian
MHM sudah dimulai sekitar awal tahun 1920-an. Jamhuri santri senior asal
Kendal, mempunyai inisiatif untuk membuka madrasah di pesantren Lirboyo.
Pendirian madrasah ini diduga merupakan pengaruh dari berdirinya Madrasah
Salafiyah di Tebuireng, yang didirikan pada tahun 1916, di mana KH Abdul Karim,
pendiri Pesantren Lirboyo adalah alumnus dari Pesantren Tebuireng tersebut.[9]
Sebelum MHM didirikan, mula-mula sistem pendidikan yang digunakan di
Pesantren Lirboyo adalah sistem bandongan atau wetonan dan sorogan. Sistem
bandongan atau wetonan diaplikasikan dengan cara santri secara bersama-sama
menulis makna dari kyai yang sedang membaca kitab kuning. Sementara sistem
sorogan dilaksanakan dengan cara santri satu-persatu membaca kitab secara
langsung di hadapan kyai. Sistem yang disebutkan pertama membutuhkan
keterampilan dasar dari santri, yaitu menulis dan gramatika Arab. Sementara
sistem kedua membutuhkan kesabaran dan ketelatenan, baik dari kyai maupun
santrinya.
Berikut ini adalah daftar mata pelajaran Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien.
- Tingkat I’dadiyah
No
|
Mata Pelajaran
|
Nama Kitab
|
Kelas
|
1
|
Al-Qur’an
|
Al-Qur’an
|
I dan II
|
2
|
Ilmu Tauhid
|
Aqidah al-Awwam
|
I
|
Matan Ibrahim
al-Bajuriy
|
II
|
||
3
|
Fiqh
|
Safinah as-Salah
|
I
|
Sullam al-Taufiq
|
II
|
||
4
|
Nahwu
|
Al-Awamil
|
I
|
Al-Jurumiyah
|
II
|
||
5
|
Sharf
|
Qaidah Nasr
|
I
|
Al-Amsilah
al-Tasrifiyah
|
I dan II
|
||
Al-Qawaaid as-Sarfiyah
|
II
|
||
6
|
Ilmu Tajwid
|
Hidayah as Sibyan
|
I
|
Tuhfah al-Atfal
|
II
|
||
7
|
Ilmu Akhlaq
|
Nazm al-Matlab
|
I
|
Taisir al-Khallaq
|
II
|
||
8
|
Ilmu Khat
|
Kitabah
|
I
|
9
|
Bahasa Arab
|
Ta’lim al-Lughah
al-Arabiyah I
|
I
|
Ta’lim al-Lughah
al-Arabiyah II
|
II
|
- Tingkat Ibtidaiyah
No
|
Mata Pelajaran
|
Nama Kitab
|
Kelas & Ket
|
1
|
Al-Qur’an
|
Al-Qur’an
|
I Alfatihah s.d
al-Zalzalah
|
II Al-Bayyinah s.d
al-Naba
|
|||
III Juz I-VI
|
|||
IV Juz VI-XI
|
|||
V Juz XI-XVI
|
|||
VI Juz XVI-XX
|
|||
2
|
Hadits
|
Al-Arbain al-Nawawiyah
|
V
|
Bulughul Marom
|
VI
|
||
3
|
Tajwid
|
Zad Mubtadi
|
I & II
|
Aqidah al Awam
|
III
|
||
Matan Ibrahim
al-Bajuriy
|
IV
|
||
Al-Kharidah al-Bahiyah
|
V
|
||
As-Sanusiyah
|
VI
|
||
4
|
Fiqh
|
Fasalatan
|
I
|
Hidayah al-Mubtadi
|
|||
Safinah al-Salah
|
II
|
||
Tanwir al-Hija
|
III
|
||
Sullam at-Taufiq
|
IV
|
||
Fath al-Qarib
|
V dan VI
|
||
Uyun al-Masail li
an-Nisa
|
VI
|
||
5
|
Nahwu
|
Al-Awamil
|
III
|
Al-Jurumiyah
|
IV
|
||
Al-Fushul al-Fikriyah
|
V
|
||
Al-Amriti
|
VI
|
||
6
|
Sharf
|
Al-Amsilah
al-Tasrifiyah
|
III
|
Qaidah Nasar
|
III
|
||
Al-Amsilah
al-Tasrifiyah
|
IV
|
||
Al-Qawaid al-Sarfiyah
|
IV
|
||
Al-I’lal
|
IV
|
||
Al-Amsilah
al-Tasrifiyah
|
V
|
||
Al-I’lal
|
V
|
||
Al-Maqsud
|
VI
|
||
7
|
Ilmu Tajwid
|
Fath al-Rahman
|
II
|
Hidayah al-Sibyan
|
III
|
||
Tuhfah al-Atfal
|
IV
|
||
Al-Jazariyah
|
V
|
||
8
|
Ilmu Akhlak
|
Nazm al-Akhlak
|
I
|
Nazm al-Matlab
|
II
|
||
Wasaya
|
III
|
||
Tahliyah
|
IV
|
||
Taisir al-Khallaq
|
V
|
||
9
|
Ilmu Imla
|
Qawaid al-Imla
|
VI
|
10
|
Ilmu khat
|
Mabadi Qiraah Asriyah
|
I dan II
|
11
|
Bahasa Arab
|
Ra’sun sirah
|
I
|
Mabadi Muhawarah li
al-Atfal
|
II
|
||
Ta’lim al-lughah
al-Arabiyah
|
III s.d V
|
||
12
|
Bahasa Indonesia
|
Diknas
|
I
|
13
|
Bahasa Jawa
|
Ngeluri Basa Jawa
|
I
|
Tarikh Anbiya
|
I
|
||
14
|
Sejarah Islam
|
Khulasah Nur al-Yaqin
|
IV dan V
|
15
|
Sejarah Indonesia
|
Ke-NU-an
|
II s.d IV
|
16
|
Ilmu hitung
|
A-Ba-Ja-Dun
|
I dan II
|
17
|
Administrasi
|
Administrasi
|
VI
|
Assalamualaikum.. dari unit-unit pesantren yang ada, mana saja unit terbaik? dan apa saja perbedaannya? terimakasih
Wassalamualaikum..
semuanya baik dan sangat rekomondet brow,,,,
tp menyesuiakan kebutuhan.... karna per unit beda pula fungsi nya....