Muhammadiyah Bertradisi


MENJADIKAN MUHAMMADIYAH BER-TRADISI
Oleh: Aji Sofanudin

Meski telah berusia 99 tahun Miladiyah atau 102 tahun Hijriyah, sejatinya  dalam  masyarakat NU yang Kental, keberadaan Muhammadiyah lebih dikenal sebagai istilah peyoratif.  Orang yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi NU tulen, dan bahkan sampai mendarah-daging,  Muhammadiyah lebih banyak datang sebagai kabar buruk: ancaman pada tradisi. Mafhum, bahwa dalam beragama, NU sarat  dengan tradisi-tradisi: berjanzy, tahlil, manaqib, dzibaan, simtud duror, khaul, dan lain sebagainya. Sementara Muhammadiyah, tidak mentradisikan itu semua.
Muhammadiyah lahir pada bulan Nopember, tepatnya pada 18 Nopember 1912 bertepatan 13 Dzulhijjah 1330 H. Pendiri Muhammadiyah adalah seorang Kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, KH Ahmad Dahlan yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis.  Kini usia Muhammadiyah telah menginjak 99 tahun Miladiyah atau 102 Hijriyah.
Konon, dulu banyak da’i kampung yang digandrungi kalangan nahdliyin lebih karena suara kerasnya pada Muhammadiyah. Di hadapan ratusan orang sang kyai berpidato mengecam Muhammadiyah --yang ia sebut dengan istilah kamdiyah, kamandiyah atau kamandanu-- sekecam-kecamnya. Intinya, Muhammadiyah adalah buruk, dan NU adalah keselamatan. Orang-orang pada senang. Mereka bertepuk tangan. Tapi, kini sudah berkurang meski tidak hilang.
Muhammadiyah dan NU memang terbentang dalam sebuah jarak pemikiran yang berbeda. Di saat NU mengampanyekan kembali pada tradisi,  Muhammadiyah menantangnya dengan pembaharuan (tajdid), kembali pada Qur'an dan Sunnah. Di saat NU berkata "tradisi harus dihormati", Muhammadiyah justru menjawab "tradisi yang tak sesuai dengan ajaran Islam, mesti dibersihkan". Dan seterusnya.
Tapi, pada ranah sosial, bentangan pemikiran itu menjadi terasa. Pengalaman menunjukkan bahwa Nahdhiyyin dan Muhammadiyin boleh berbeda pendapat dalam hal keagamaan, tapi dalam soal sosial, tak ada alasan untuk memutus tali silaturrahim. Boleh-boleh saja jangkar modernisme Islam dilabuhkan oleh Muhammadiyah, tapi modernisme tersebut mesti berdialog dengan lokalitas; bersentuhan dengan tradisi yang telah lama hadir dalam tubuh umat Islam.
Nahdhiyyin mengajarkan pada kita untuk memperhatikan kebudayaan; tradisi. Oleh sebab itulah ia lahir menantang Muhammadiyah. Meski demikian, garis demarkasi antara agama dan budaya juga perlu diperhatikan. Tanpa garis demarkasi, yang terjadi ialah sinkretisme, perpaduan yang saling menenggalamkan antara budaya dan agama.
NU dan Muhammadiyah bukan sekadar entitas. Mereka adalah kebudayaan. Seseorang yang lahir dari kebudayaan, akan sulit melepaskan diri dari ikatannya yang kuat. Ketika bersentuhan dengan harakah, misalnya, ikatan kebudayaan yang dibangun oleh Muhammadiyah dalam kerangka berpikirnya menyebabkan kebudayaan tersebut terbawa ketika bersentuhan dengan mereka.
Nahdhiyyin mengajarkan untuk tidak menenggelamkan habitus kebudayaan itu. Sebab, tanpanya, kita akan semakin jauh tereksklusi dari masyarakat. Padahal hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (qudrat-iradat) Allah atas manusia di dunia ini. Dan sebagai konsekuensi logisnya, kita  harus terjun ke masyarakat sebagai bagian dari keberbudayaan.
Relasi antara Muhammadiyah dan NU kini semakin mencair, terutama pada tingkat elite kampus dan kota-kota besar yang dilabuhi oleh kapal globalisasi. Meski demikian, di daerah pedesaan, masih ada banyak kegelisahan dan kerawanan sosial. Itulah sebabnya, dialog menjadi penting. Tanpa dialog, yang ada adalah eksklusi, sikap saling-menyalahkan, dan ujung-ujungnya ketegangan. Di kampung, masih dijumpai ‘saling-ejek’ terkait perbedaan pelaksanaan sholat Idul Fitri.
Kita tentu tak mengharapkan adanya konflik horisontal seperti terjadi di Timur Tengah, antara Sunni dan Syiah. Maka dari itu, warga NU dan Muhammadiyah harus bersikap terbuka satu sama lain. Begitu juga dengan aktivis-aktivis harakah itu. Jangan sampai kita semua jatuh pada kejumudan hanya karena monopoli kebenaran yang sebenarnya tak perlu.
"Al-Islam mahjuubun bil muslimiin", kata Syaikh Muhammad Abduh. Islam itu tertutup oleh umat Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, pemahaman keagamaan yang universal dan transformatif perlu diarusutamakan. Tujuannya sederhana: agar Islam dipahami sebenar-benar sebagai diin, sebagai Islam, yang menerima pluralitas paham di dalamnya sebagai konsekuensi keberagaman.
Harapan kita, semoga ormas Muhammadiyah ber-tradisi atau setidaknya mengapresiasi tradisi yang berkembang di masyarakat. Dengan cara itu, fokus utama Muhammadiyah bukan mengungkit perbedaan dengan NU. Tapi membangun kejayaan umat dan bangsa di tengah kemerosotan dalam segala hal. Jangkar amal usaha di bidang pendidikan dan kesehatan perlu dibarengi dengan nilai-nilai syiar Islam. Semoga.
Oleh karena mengulas tentang NU dan Muhammadiyah, tulisan ini akan diakhiri dengan penutup yang sering sekali digunakan oleh kedua ormas tersebut.
Wallahu Muwaffiq ila aqwamith thariq
Nashrun Minallah wa Fathun Qariib


Semarang, 18 Nopember 2011
Aji Sofanudin
Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan  Agama (BPPA) Semarang, Alumnus Magister UII Yogyakarta konsentrasi ‘Islamic Research’



Dimuat di Majalah SMART Volume II No  2 Juli-Desember 2011
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang





Pidato Boediono



Pidato Wapres Boediono saat membuka Muktamar Dewan Masjid Indonesia (27/4)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Pertama-tama marilah kita bersama memanjatkan puji dan syukur kita kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya hingga kita dapat berkumpul bersama di tempat ini pada acara Muktamar Dewan Masjid Indonesia Ke-6 Tahun 2012.


Saya juga ingin menyampaikan rasa bahagia dapat hadir di majelis yang Insya Allah dimuliakan oleh Allah SWT, bersama para Pengurus Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah Wakil Takmir Masjid Raya Provinsi, serta Badan Otonom Dewan Masjid Indonesia.

Sebelum saya melanjutkan sambutan, pada kesempatan pertama ini saya ingin menyampaikan salam hangat dari Bapak Presiden kepada Saudara-saudara. Dikarenakan beliau ada kegiatan lain yang tidak bisa ditinggalkan, saya diminta mewakili beliau untuk menghadiri pembukaan Muktamar Dewan Masjid Indonesia kali ini.

Saudara Pimpinan Dewan Masjid Indonesia, Para Peserta Muktamar dan Hadirin yang Saya Hormati,

Muktamar Ke-6 Dewan Masjid Indonesia ini memiliki arti yang penting sebagai forum permusyawaratan tertinggi di dalam organisasi Dewan Masjid Indonesia. Kesempatan ini pula merupakan momentum yang baik untuk melakukan refleksi, evaluasi sekaligus perencanaan program/kegiatan untuk mewujudkan fungsi masjid sebagai pusat ibadah Mahdoh (ritual) dan pusat ibadah Muamalah (sosial kemasyarakat).

Dalam kesempatan lain, pernah saya sampaikan bahwa Masjid merupakan satu institusi sentral dalam peradaban Islam dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah umat Islam. Dari masjidlah, tumbuh dan berkembang khazanah pemikiran dan keilmuan serta strategi pemberdayaan dan penguatan kapasitas umat Islam.

Masjid sejatinya selain menjadi basis ideologi dan spiritual umat Islam, juga berperan sebagai wahana untuk memfasilitasi berbagai upaya pemberdayaan dan penguatan kapasitas umat di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya serta berbagai bidang lainnya. Untuk itu saya memandang sangat tepat Muktamar kali ini mengangkat tema: “Revitalisasi dan Reaktualisasi Peranan Masjid Sesuai Sunnah Rasul”.

Saudara-Saudara sekalian,

Bagi seorang Muslim, masjid adalah lembaga terpenting setelah rumah dan tempat kerja. Dia merupakan pusat kegiatan komunitas Muslim, tempat bersosialisasi, dan tempat kembali mensucikan dan mendekatkan diri ke Sang Pencipta.

Menurut para ahli, masjid berasal dari akar kata yang sama dengan sujud, posisi dalam sholat dimana seorang Muslim meletakkan keningnya ke tanah sebagai tanda kepasrahan dan ketaatan total kepada kehendak Ilahi. Bangunan masjid dengan kubah dan menaranya konon menyimbolkan monotheisme Islam dalam bentuk Tauhid serta kesatuan dan persatuan umat Islam.

Pada kesempatan yang saya sebut tadi, saya juga menyampaikan bahwa disamping mengembalikan masjid sebagai tempat membangun kembali peradaban umat, masjid juga ditantang untuk menyebarkan Islam sebagai agama yang damai dan penuh rahmat Ilahi.

Dari berbagai sumber, diperkirakan jumlah masjid dan mushola di seluruh Indonesia saat ini hampir mencapai 1 juta masjid. Tidak pelak lagi bahwa masjid mempunyai peran dalam membangun karakter bangsa. Karenanya, disamping sebagai tempat ibadah bersama, pemrakarsa masjid juga diharapkan sungguh-sungguh memperhatikan agenda dan kepengurusan masjid.

Kita semua berkepentingan agar masjid dijaga jangan sampai jatuh ketangan mereka yang menyebarkan gagasan yang tidak Islami seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung kepada tindak kekerasan dan terorisme. Islam adalah agama yang sangat toleran. Islam mengajarkan kepada kita bahwa jalan terbaik adalah jalan tengah.

Saudara-saudara,

Salah satu keunikan agama Islam sebagai agama wahyu terakhir adalah adanya kesatuan arah dalam beribadah. Dari masjid di seluruh dunia, ketika menghadap Rabbul alamin dalam sholat maupun berdoa, kita semua menghadapkan tubuh kita ke arah yang sama yakni Baitullah Ka’bah di Mekkah. Mengikuti peredaran waktu dan matahari, tidak satu detikpun di seantero planet bumi ini lepas dari suara azan karena waktu sholat yang berbeda-beda.

Allah juga memberi ganjaran berlipat bagi Muslim yang sholat berjamaah dari pada yang sholat sendirian. Kesatuan arah dan kebersamaan ini adalah salah satu inti ajaran Islam dimana umat Islam dituntut bersatu dan bersama dalam menjalankan kebaikan.

Sebagaimana kita bangsa Indonesia selalu berupaya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa yang majemuk ini, pemerintah mengharapkan agar Dewan Masjid Indonesia terus menerus menjaga persatuan dan kebersamaan dalam perbedaan diantara berbagai agama yang ada di Indonesia dan sekaligus menjauhkan umat dari sikap tidak toleran, apalagi sikap sesat yang menyesatkan diantara umat Islam sendiri. Surga Tuhan sangatlah terlalu luas untuk menampung berbagai jalan yang ditempuh hambanya menuju kehidupan abadi di akhirat.

Para Hadirin yang Berbahagia,

Masjid juga merupakan usaha bersama yang harus dikelola secara profesional. Imam masjid tentu adalah orang benar-benar fasih dan memahami seluk beluk aturan agama, dan pengurus masjid adalah pengelola yang berkomitmen dan mampu menjaga dan memelihara bangunan dan seluruh aspek kegiatan masjid.

Salah satu hal yang ingin saya sampaikan di sini terkait dengan gerakan nasional yang akan dicanangkan Bapak Presiden, yaitu masalah kebersihan.

Kita semua pernah mendengar atau membaca hadis Rasulullah SAW yang terkenal yang mengatakan bahwa “Kebersihan adalah bagian dari iman”. Setiap mukmin harus menjaga kebersihan dirinya dan lingkungannya.

Masjid sebagai tempat suci untuk melaksanakan ibadah yang diperintahkan Tuhan harus menjadi contoh sebagai tempat paling bersih di antara tempat-tempat lain. Kebersihan, terutama di tempat kita berwudhu, serta aroma yang sedap di lingkungan masjid akan menambah kekhusyukan kita dalam beribadah. Kebersihan yang dimulai dari masjid akan menularkan kebiasaan bersih di lingkungan lain seperti rumah, sekolah, dan tempat kita bekerja.

Perkenankan saya menyampaikan satu hal lagi yang berkaitan dengan pengelolaan masjid.Dalam rangka mensyiarkan Islam dan memberikan citra positif bagi umat Islam, kita di Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dapat memberikan contoh-contoh yang baik bagi dunia Islam.

Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Kita semua sangat memahami bahwa adzan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban sholatnya. Namun demikian,apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita.

Al-Qur’an pun mengajarkan kepada kita untuk merendahkan suara kita sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjukNya.

Saudara-saudara Sekalian,

Dalam usianya menjelang matang, yaitu mencapai 40 tahun, sejak didirikannya pada tanggal 22 Juni 1972, masih banyak ruang bagi Dewan Masjid Indonesia untuk berbuat bagi kemajuan dan peningkatan kualitas pengelola Masjid.

Dalam kesempatan ini ada beberapa harapan yang saya ingin sampaikan kepada Majelis yang mulia ini.

Pertama, saya berharap Dewan Masjid Indonesia senantiasa memberdayakan masjid untuk melakukan upaya edukasi kepada umat muslim melalui dakwah dalam rangka peningkatan karakter dan moral umat muslim dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat utamanya kepada generasi muda.

Kedua, Dewan Masjid Indonesia saya harapkan mampu mendorong Masjid agar dimanfaatkan tidak hanya sebagai sarana ibadah, namun juga dapat dijadikan sarana pendidikan, baik pendidikan Tahfidzul Qur’an (hapalan Qur’an) dan Tahsinul Qur’an (memperbaiki kualitas bacaan Quran) maupun pendidikan dasar formal seperti TK, SD, dan SMP.

Ketiga,kita mengharapkan Dewan Masjid Indonesia mampu memberdayakan Masjid sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan minat, bakat, dan keterampilan generasi muda melalui pelatihan kepemimpinan, manajemen dan ketrampilan bagi Pemuda Remaja Masjid.

Keempat, Dewan Masjid Indonesia diharapkan mampu mendorong Masjid dalam penciptaan kemakmuran umat muslim melalui optimalisasi zakat, infaq, shadaqah bekerjasama dengan BAZNAS serta melalui pengembangan usaha yang berbasis syariah (seperti Baitul Maal Wat Tamwil/BMT) di kalangan Majelis Taklim sehingga dapat lebih optimal membantu maupun memberdayakan kaum dhuafa utamanya anak-anak terlantar.

Saudara-saudara para peserta Muktamar yang berbahagia,

Demikianlah, sambutan saya. Semoga dapat menjadi masukan bagi Saudara-saudara dalam bermusyawarah selama 3 (tiga) hari ini.

Akhirul kalam, dengan memohon ridho dan petunjuk Allah SWT dan mengucap Bismillahirrahmanirrahim Muktamar Ke-6 Dewan Masjid Indonesia, secara resmi dibuka. Selamat melaksanakan Muktamar.

Terima kasih

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Wakil Presiden Republik Indonesia


sumber: detik.com


Kinerja Guru Agama


Ringkasan
KINERJA GURU AGAMA MADRASAH ALIYAH PASCADIKLAT FUNGSIONAL DI BALAI DIKLAT KEAGAMAAN DENPASAR
(Studi Evaluasi Kinerja Guru Agama Madrasah Aliyah Pascadiklat Fungsional
di Lombok Tengah NTB)

Oleh: Aji Sofanudin

A.    PENDAHULUAN

Kementerian Agama (Kemenag) merupakan salah satu komponen penggerak pembangunan nasional yang dituntut untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Bersama komponen lainnya Kemenag diharapkan mampu menjadi daya dukung bagi tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas dan handal.

Upaya konkret dan strategis telah dilakukan oleh Kemenag dalam rangka meningkatkan kualitas aparaturnya. Salah satunya dengan memantapkan lembaga diklat melalui penetapan fungsionalisasi penyelenggara diklat kepada Pusdiklat Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Regulasi yang mengatur Pusdiklat berdasarkan pada KMA Nomor 1 Tahun 2001 yang telah disempurnakan dengan PMA Nomor 3 Tahun 2006 dan Balai Diklat sebagai Unit Pelaksana Teknis kediklatan sesuai KMA No. 345 Tahun 2004.

Upaya peningkatan SDM, terutama guru di dunia pendidikan merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Pada Kementerian Agama, upaya perbaikan dan peningkatan kualitas sistem penyelenggaraan dan hasil pendidikan guru dilakukan oleh dua Pusdiklat dan dua belas Balai Diklat Keagamaan yang tersebar di berbagai propinsi di Indonesia.

Pusdiklat dan balai diklat telah mengembangkan program pendidikan dan latihan guru yang lebih akomodatif, inovatif, dan berwawasan kompetensi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang berkualitas.

Kebutuhan pendidikan yang berkualitas memerlukan suatu sistem diklat yang dinamis. Sistem diklat yang dinamis senantiasa membutuhkan data dan informasi yang menggambarkan secara nyata dan objektif untuk dijadikan acuan dalam peningkatan mutu lulusan diklat, yaitu guru yang memiliki kompetensi dalam pengelolaan pembelajaran, pengembangan potensi, dan penguasaan akademik.
Data dan informasi dapat diperoleh melalui identifikasi dan evaluasi segenap komponen diklat. Identifikasi dan evaluasi diklat dilakukan untuk mengantisipasi implikasi negatif terhadap kualitas pembelajaran di madrasah yang berpengaruh kepada pencapaian kompetensi siswa. Dengan demikian, dapat diperoleh suatu sistem jaminan dan pengendalian mutu penyelenggaraan diklat yang memenuhi prinsip relevansi, pemerataan, efisiensi, penguatan mutu, dan humanisasi.


B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah kinerja guru agama MA di Lombok Tengah Pascadiklat fungsional di Balai Diklat Keagamaan Denpasar?
2.      Bagaimanakah iklim akademis madrasah yang mempeng­aruhi kinerja guru agama MA setelah meng­ikuti diklat fungsional di Balai Diklat Keagamaan Denpasar?
  1. Bagaimanakah dampak kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional terhadap prestasi belajar siswa?
  2. Bagaimanakah dampak kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional terhadap kinerja guru yang lain?

C.    TEORI
Pendidikan dan pelatihan adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama hidup, dari lahir sampai dengan mati manusia secara sadar maupun tidak sadar selalu belajar.  Hal ini dilakukan untuk melakukan adaptasi terhadap berbagai perubahan hidup maupun berorganisasi. Untuk meningkatkan kualitas pekerjaan dalam borderless world dan semangat global competitors tersebut, organisasi menggunakan diklat sebagai sarana untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan atau perubahan perilaku yang dipersyaratkan untuk mensikapi adanya perubahan.
Secara umum diklat adalah suatu proses terencana untuk mengubah pengetahuan, keterampilan atau perilaku untuk mencapai outcomes tertentu dan dapat diukur. Dalam KMA Nomor 01 Tahun 2003 Pasal 1 yang dimaksud dengan Diklat adalah penyelenggaraan proses belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kompetensi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Agama yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 40 jam pelajaran dengan durasi tiap jam pelajaran adalah 45 menit. Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa diklat merupakan proses sistemik dimana harus terdapat kejelasan titik awal dan akhirnya.  Diklat harus direncanakan dengan baik, dievaluasi penerimaan dan hasil belajar partisipan, dan juga evaluasi bagaimana hasil pembelajaran tersebut sesuai dengan tujuan organisasi.
Dalam PP 101 Tahun 2000 disebutkan bahwa Diklat bertujuan agar (1) Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi, (2) Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa, (3) Memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat, (4) Menciptakan kesamaan visi, misi, dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik.
Diklat adalah sebuah sistem. Sistem adalah seperangkat komponen atau unsur-unsur atau sub sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, keberhasilan penyelenggaraan diklat dipengaruhi oleh berbagi macam faktor: peserta diklat, WI, panitia, saran prasarana, dan sebagainya.
Diklat sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi seseorang, seringkali diragukan manfaatnya baik bagi individu, manajemen maupun organisasi.  Salah satu penyebab keraguan manfaat diklat ini dikarenakan pengukuran manfaat pelatihan sering sekali tidak dijadikan bagian yang penting dalam sistem pelatihan bahkan sering organisasi tidak mengevaluasi outcomes diklat.
Evaluasi diklat diartikan sebagai pengukuran nilai dan manfaat program pelatihan dalam hubungan dengan tujuan dan sasaran yang telah dikembangkan.  Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam evaluasi kita membandingkan hasil sesudah pelatihan dengan standar yang telah ditetapkan berkaitan dengan suatu jenis pelatihan (standart ini dikembangkan sesuai kebutuhan organisasi dalam pengirimkan pelatihan). 
Seringkali kita terjebak dalam penetapan kesimpulan atau judgement yang ambigu dalam pelaksanaan evaluasi, kita sering membandingkan secara langsung antara kinerja sesudah pelatihan dengan sebelum pelatihan.  Hal ini tidak salah karena tujuan pelatihan adalah memperbaiki kinerja, namun kita juga harus menyadari kemungkinan adanya kompleksitas permasalahan yang menganggu kinerja. Tidak semua permasalahan yang berkaitan dengan kinerja dapat diselesaikan dengan satu jenis training.  Sehingga sering kali kita menyalahkan pelatihan karena tidak secara langsung menjawab semua kebutuhan organisasi, mampu mendongkrak secara penuh kinerja seseorang/unit organisasi.  Evaluasi dapat dilihat untuk mengukur kontribusi pelatihan tersebut dalam peningkatan kinerja organisasi, namun tidak selalu bahwa satu jenis pelatihan mampu menyelesaikan semua permasalahan (jika kita menghadapi permasalahan organisasi yang kompleks).  Sehingga dalam evaluasi kita perlu berhati-hati untuk memberikan judgement tentang manfaat pelatihan terhadap kinerja organisasi sesuai dengan program pelatihan.
Aspek lain yang penting dalam evaluasi bahwa penilaian ini tidak berhubungan dengan penilaian terhadap partisipan dalam program pelatihan, meskipun hasil dari penilaian individu diperhitungkan sebagai bagian dalam evaluasi.  Ada dua pertimbangan dalam evaluasi adalah efektivitas dan nilai/manfaat pelatihan.  Efektivitas berkaitan dengan apakah pelatihan mencapai apa yang menjadi tolok ukur yang harus dicapai (kompetensi), sedangkan nilai/manfaat digunakan untuk melihat apakah biaya dan sumber daya memiliki nilai bagi organisasi.
Evaluasi penting untuk dilakukan dengan beberapa alasan antara lain:
1.      Mengetahui outcomes diklat yang sudah dicapai.
2.      Mengetahui bahwa uang dan sumber daya yang sudah dialokasikan untuk diklat bermanfaat
3.      Mengetahui perubahan dalam perilaku dan manfaatnya bagi organisasi.
4.      Mengetahui apakah diklat berkontribusi pada penyelesaian permasalahan organisasi yang diidentifikasi dalam Training Need Analysis.
5.      Mengetahui perubahan dalam diklat yang harus dilakukan agar lebih berkualitas.
6.      Mengetahui diklat lanjutan ataupun tambahan yang harus dilakukan.

Adapun model alur pikir yang digunakan adalah sebagai berikut.




 














Evaluasi yang digunakan adalah evaluasi sesudah pembelajaran atau pascadiklat.

D.    METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat evaluatif dan dirancang menggunakan model CIPP (Context, Input, Process, dan Product) (Stufflebeam dalam Madaus 1983:117). Analisis evaluasi ini untuk memeriksa persesuaian antara tujuan diklat yang diinginkan dan kinerja guru yang dicapai (Daryanto,1999).




 
















Populasi penelitian ini guru pascadiklat fungsional, kepala sekolah, dan siswa yang dibimbing guru pascadiklat oleh Balai Diklat Keagamaan Denpasar dan lebih khusus lagi yang berada di kabupaten Lombok Tengah NTB.
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data pada penelitian ini bervariasi sesuai dengan variabel yang diungkap. Instrumen penelitian yang digunakan antara lain penilaian kinerja guru, kuesioner, panduan observasi, panduan wawancara dan dokumentasi.
a.    Penilaian kinerja guru digunakan untuk menilai realisasi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
b.    Kuesioner untuk menggali data yang berkenaan dengan (1) iklim pendukung guru menindaklanjuti pascadiklat fungsional dalam rangka meningkatkan kinerja terutama dalam hal: (a) manajemen, program, dan regulasi madrasah, dan (b) komitmen kepala madrasah untuk melaksanakan regulasi madrasah; dan (2) dampak positif bagi peningkatan kinerja guru lain, yang meliputi: (a) penciptaan nuansa untuk mendukung kreativitas dan kemandirian guru, (b) keterbukaan dalam berbagi informasi akademik, dan (c) penjalinan komunikasi kerja dengan sesama guru.
c.    Panduan observasi untuk menggali data yang terkait dengan: (1) iklim pendukung guru menindaklanjuti pascadiklat fungsional dalam rangka meningkatkan kinerja terutama dalam hal: (a)  sarana pendukung (laboratorium, perpustakaan, ruang kelas, dan sarana pendukung lainnya), (b) fasilitas yang tersedia (buku pelajaran, media pembelajaran, dan lainnya), dan (2) kegiatan pembelajaran di kelas, aktivitas/interaksi guru dan siswa di kelas, sistematika penyajian materi, metode, dan media pembelajaran yang digunakan.
d.   Panduan wawancara untuk mendalami data yang diperoleh baik berkaitan dengan konteks, input, proses, dan produk yang melingkupi peningkatan kinerja guru MA pascadiklat fungsional.
e.    Dokumentasi untuk mencermati hal yang berkaitan dengan peningkatan kinerja siswa meliputi: (a) tingkat kelulusan dan nilai rata-rata UN siswa, (b) keterampilan yang dimiliki siswa, (c) hasil belajar siswa berkaitan dengan ulangan harian atau hasil semester, dan (d) prestasi nonakademik siswa.

E.     HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data alumni diklat guru mapel fiqh, al-Qur’an hadits, aqidah akhlak, dan SKI Madrasah Aliyah di Balai Diklat Keagamaan Bali tahun 2009, 2010, dan 2011 pada Propinsi Bali, NTB, dan NTT diperoleh simpulan bahwa data alumni paling banyak berada di propinsi NTB. Sementara itu, di antara kab/kota di Propinsi NTB data alumni yang banyak berada di kab. Lombok Tengah, Mataram, Lombok Barat, dan Lombok Timur.
Oleh karena itu, lokasi yang dijadikan sasaran penelitian ini adalah pada kab/kota tersebut. Data jumlah alumni guru mapel fiqh, al-Qur’an hadits, aqidah akhlak, dan SKI Madrasah Aliyah pada kab/kota di NTB adalah sebagai berikut.

Tabel 1
Data Jumlah Alumni Diklat Bdk Bali
Guru Mapel Rumpun Agama Madrasah Aliyah NTB
Tahun 2009 s.d 2011

No
Kab/Kota
Jumlah Alumni
1
Mataram
11
2
Lombok Tengah
17
3
Lombok Barat
13
4
Lombok Timur
20
5
Bima
9
6
Dompu
5
7
Sumbawa
6
8
Sumbawa Barat
3
Sumber: Balai Diklat Keagamaan Denpasar

Sebenarnya di propinsi Bali dan NTT yang merupakan wilayah kerja Balai Diklat Keagamaan Bali juga terdapat alumni diklat guru mapel rumpun agama Madrasah Aliyah namun jumlahnya lebih sedikit.
Berdasarkan data di atas yang menjadi sasaran penelitian adalah 4 (empat) kab./kota yaitu Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Namun, dalam laporan penelitian ini khusus pengumpulan data yang dilakukan di Lombok Tengah NTB.
1.      Kinerja Guru agama MA setelah Mengikuti Diklat Fungsional
Pada bagian ini dipaparkan enam hal yang terkait dengan kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional. Keenam hal tersebut adalah (a) kumulasi kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional, (b) kinerja guru agama MA kompe­tensi pedagogik sete­­lah mengikuti diklat fungsional, (c) kinerja guru agama MA kompe­tensi kepribadian sete­­lah mengikuti diklat fungsional, (d) kinerja guru agama MA kompe­tensi sosial sete­­lah mengikuti diklat fungsional, (e) kinerja guru agama MA kompe­tensi profesional sete­­lah mengikuti diklat fungsional, dan (f) prestasi guru peserta diklat fungsional. Uraian keenam hal tersebut sebagai berikut.
a.       Kumulasi kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kinerja guru agama MA setelah mengikuti diklat fungsional diperoleh informasi sebagaimana pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2
 Kumulasi Kinerja Guru Agama MA setelah Meng­­ikuti
Diklat Fungsional

No
Nama Guru
Kompetensi (Penilaian Kinerja Guru)
Nilai
Kriteria
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Pedagogik
kepribadian
sosial
profesi
1.
R.01
4
4
4
4
3
4
3
4
4
3
4
3
4
2
89,29
baik
2.
R.02
2
3
4
3
3
4
3
4
4
3
4
2
4
3
82,14
baik
3.
R.03
4
4
4
4
3
3
3
4
4
4
4
2
4
2
87,50
baik
4.
R.04
4
3
4
3
3
4
3
4
3
3
4
4
4
3
87,50
baik
5.
R.05
3
3
4
4
3
3
3
4
4
3
4
4
4
3
87,50
baik
6.
R.06
3
3
4
3
3
4
3
4
4
3
4
2
3
3
82,14
baik
7.
R.07
4
4
4
4
4
4
3
4
3
4
4
4
4
3
94,64
amat baik
8.
R.08
3
2
3
3
2
3
2
2
2
3
2
2
4
3
64,29
cukup
9.
R.09
2
3
2
2
2
3
3
3
3
3
3
2
2
3
64,29
cukup
10.
R.10
3
3
3
3
2
2
2
4
4
3
4
1
2
1
66,07
cukup
Rerata
80,54
Baik

Berdasarkan data pada tabel 2 terpaparkan bahwa rerata penilaian kinerja guru setelah mengikuti diklat fungsional sebesar 80,54 berkategori baik, yang berada pada rentang nilai 76 s.d. 90. Dari 10 responden 1 responden berkategori amat baik, 6 responden berkategori baik, dan 3 responden yang lain berkategori cukup. satu responden, yaitu R.07 memiliki penilaian kinerja guru 94,64 kriteria amat baik.

b.      Kinerja guru agama MA kompe­tensi pedagogik sete­­lah mengikuti diklat fungsional
Kinerja Guru Agama MA kompe­tensi pedago­gik sete­­lah mengikuti diklat fungsional meliputi aspek: (1) menguasai karakteristik peserta didik, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) pengembangan kurikulum, (4) kegiatan pembelajaran yang mendidik, (5) pengembangan potensi peserta didik, (6) komunikasi dengan peserta didik, dan (7) penilaian dan evaluasi.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kinerja guru agama MA berkaitan dengan kompetensi pedagogik setelah mengikuti diklat fungsional diperoleh informasi sebagaima­na pada tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3
Kinerja Guru Agama MA Kompe­tensi Pedago­gik sete­­lah Mengikuti Diklat Fungsional

No
Nama Guru
Subkompetensi
Skor
Nilai
Kriteria
1
2
3
4
5
6
7
1.
R.01
4
4
4
4
3
4
3
26
92,86
Amat Baik
2.
R.02
2
3
4
3
3
4
3
22
78,57
Baik
3.
R.03
4
4
4
4
3
3
3
25
89,29
Baik
4.
R.04
4
3
4
3
3
4
3
24
85,71
Baik
5.
R.05
3
3
4
4
3
3
3
23
82,14
Baik
6.
R.06
3
3
4
3
3
4
3
23
82,14
Baik
7.
R.07
4
4
4
4
4
4
3
27
96,43
Amat Baik
8.
R.08
3
2
3
3
2
3
2
18
64,29
Cukup
9.
R.09
2
3
2
2
2
3
3
17
60,71
Sedang
10.
R.10
3
3
3
3
2
2
2
18
64,29
Cukup
Rerata
22,3

79,64
Baik

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme | Blogger Templates | Best Credit Cards