Dilema Peneliti



Dilema Peneliti; Substansi atau Administrasi
Oleh: Aji Sofanudin

Persoalan administrasi dan substansi tidak usah digalaukan, semuanya penting. Begitu comment Dr H Arifuddin Ismail MPd menanggapi status FB penulis “Dilema Peneliti; Substansi atau Administrasi”. Penulis kaget, tidak biasanya Kepala Balai mengomentasi status fb, apalagi comment nya cukup panjang. “Persoalan administrasi dan substansi tidak usah digalaukan, semuanya penting. Seorang peneliti seyogyanya berpikir keilmuan & keilmiahan yang salah satu cirinya adalah rasional. Kalau ada peneliti yg merisaukan itu, berarti belum mengetahui posisinya, makanya kemarin wkt di Siliwangi saya pertanyakan "Dimana Posisi Anda", ternyata prediksi saya benar masih peneliti yg tdk tahu posisinya”.
Penulis mencoba memahami kenapa Pak Arif yang merupakan pimpinan saya memberikan komentar yang begitu panjang. Apalagi diakhiri kalimat pertanyaan “Dimana posisi Anda?” dan menganggap saya tidak tahu posisinya. Pikiran penulis melayang, dan menduga barangkali “Status saya tentang Dilema Peneliti; Substansi atau Administrasi” dikaitkan dengan kebijakan baru Pak Arif, selaku kepala Balai Litbang Agama Semarang tentang berbagai hal dalam rangka Peningkatan Mutu Penelitian di Lingkungan Balitbang Kementerian Agama, terutama kebijakan kewajiban setiap peneliti untuk menyusun 4 hal: (1) Jadwal harian di lapangan, (2) catatan harian, (3) catatan wawancara, dan (4) catatan observasi.
Padahal, status itu muncul setelah penulis jalan-jalan di Gramedia dan melihat buku best seller Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Antara Suara dan Syariah. Tidak ada niatan untuk menanggapi kebijakan baru tersebut. Tetapi karena dikomentari panjang, saya pun akan memberikan komentar yang  panjang juga. Paling tidak sebagai sharing bawahan terhadap pimpinan. Sekaligus sebagai latihan menulis, yang insya Allah akan penulis lakukan satu hari satu tulisan sebagaimana Rektor IAIN Walisongo Semarang yang setiap hari bisa membuat tulisan.

Peningkatan Mutu Penelitian
Mafhum bahwa 6 kebijakan teknis Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang lalu, Prof Dr H Atho Mudzhar, MA masih dipakai. Salah satunya adalah peningkatan mutu penelitian melalui diversifikasi metodologi. Persoalan mutu penelitian akan selalu aktual karena menyangkut ruh dari kegiatan penelitian itu sendiri. Apalagi untuk penelitian di kementerian yang harus selalu diarahkan untuk pengambilan kebijakan. Tanpa mutu yang baik, tidak mungkin hasil penelitian tersebut akan dipakai sebagai pengambilan kebijakan.
Mutu yang baik memang mensyaratkan berbagai hal. Hal yang paling penting menurut hemat saya adalah SDM peneliti. Tanpa SDM peneliti yang kompeten dan berdedikasi mustahil akan melahirkan hasil penelitian yang bermutu. Peningkatan kompetensi peneliti tentu melalui berbagai jalur. Yang paling ampuh tentu melalui jalur pendidikan baik formal S-2 dan S-3 dan non formal sebagaimana sudah dan  pastinya akan terus dilakukan di Litbang Agama.
Di sisi lain, persoalan waktu penelitian bisa jadi problem. Dengan waktu yang sedikit, mustahil akan memberikan hasil penelitian yang berbobot. Demikian mantra ampuh yang kerap muncul. Apalagi fakta bahwa Cliffordz Geertz yang menghasilkan karya monumental itu perlu melakukan penelitian yang lama, 6 bulan sampai 1 tahun. Meskipun menurut Prof Mudjahirin dalam suatu kesempatan, bahwa sedikitnya waktu penelitian itu untuk disiasati bukan dimaklumi. Artinya bagaimana memaksimalkan waktu penelitian yang sedikit itu untuk menghasilkan penelitian yang bermutu. Yang lebih penting adalah persiapan penelitian terutama pembacaan teks2 bacaan yang relevan dengan topik penelitian yang perlu diperbanyak.
Secara faktual kegiatan penelitian di lapangan bisa beraneka ragam yang terkadang tidak terkait langsung dengan penelitian. Misalnya ketika peneliti datang sejatinya yang dicari pertama bukan data melainkan hotel, kemudian akan mendatangi kemenag propinsi atau kabupaten, setelah itu biasanya mengenal lingkungan sekitar, belum lagi tambah jalan2, dan persiapan oleh2 untuk keluarga. Kegiatan2 tersebut kadang menyita banyak waktu dan bisa saja lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk itu daripada untuk pengumpulan data. Inilah yang jadi problem utama penelitian kantoran.
Barangkali akan beda manakala penelitian itu tidak dibebani kegiatan2 tersebut. Apalagi fakta bahwa selama ini yang menjadi ukuran keberhasilan penelitian adalah evaluasi administrasi buka evaluasi substansi. Bagaimana kwitansi hotel, bagaimana tiket pesawat/angkutan, bagaimana uang responden, bagaimana uang informan, pembantu peneliti, pembantu surveyor, konsumsi FGD, dan sebagainya harus dipertanggungjawabkan. Peneliti dibebani tugas2 administrasi tersebut. Sebenarnya tidak ada masalah, dalam arti bisa diselesaikan, tetapi waktu dan pikiran terbebani oleh hal2 tersebut. Akibatnya, kegiatan penelitian dipengaruhi oleh administrasi itu.
Paling tidak, peneliti dipastikan lebih senang mencari data di kota daripada di desa. Karena memang, umumnya di kota banyak hotel dan itu mempermudah dalam pencaria data. Atau paling tidak, bisa jadi kita tidak datang ke lokasi penelitian yang jauh tetapi justeru informan yang kita undang untuk datang ke hotel. Dan wawancara pun dilakukan. Akibatnya kegiatan lebih pada kegiatan prosedural penelitian dan bukan pada substansi penelitian.
Bisa saja peneliti sungguh2 wawancara tetapi yang muncul adalah data permukaan (front stage) apalagi jika tidak terbangun rapport yang baik dengan informan. Andai saja model ‘gelondongan’ yang dulu pernah mencuat ke permukaan bisa diterapkan dalam penelitian, barangkali itu bisa menjembati dilema peneliti. Wallah’alam.

Magelang, 12 April 2012
12 April adalah HUT  Kota Tegal dan HUT Pernikahan Keenamku

0 Response to "Dilema Peneliti"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme | Blogger Templates | Best Credit Cards