Dilema Peneliti
14.53
ISLAMIC RESEARCH
, Posted in
Artikel
,
0 Comments
Dilema
Peneliti; Substansi atau Administrasi
Oleh:
Aji Sofanudin
Persoalan
administrasi dan substansi tidak usah digalaukan, semuanya penting.
Begitu comment Dr H Arifuddin Ismail
MPd menanggapi status FB penulis “Dilema Peneliti; Substansi atau
Administrasi”. Penulis kaget, tidak biasanya Kepala Balai mengomentasi status
fb, apalagi comment nya cukup panjang. “Persoalan
administrasi dan substansi tidak usah digalaukan, semuanya penting. Seorang
peneliti seyogyanya berpikir keilmuan & keilmiahan yang salah satu cirinya adalah
rasional. Kalau ada peneliti yg merisaukan itu, berarti belum mengetahui
posisinya, makanya kemarin wkt di Siliwangi saya pertanyakan "Dimana
Posisi Anda", ternyata prediksi saya benar masih peneliti yg tdk tahu
posisinya”.
Penulis
mencoba memahami kenapa Pak Arif yang merupakan pimpinan saya memberikan
komentar yang begitu panjang. Apalagi diakhiri kalimat pertanyaan “Dimana
posisi Anda?” dan menganggap saya tidak tahu posisinya. Pikiran penulis
melayang, dan menduga barangkali “Status saya tentang Dilema Peneliti;
Substansi atau Administrasi” dikaitkan dengan kebijakan baru Pak Arif, selaku
kepala Balai Litbang Agama Semarang tentang berbagai hal dalam rangka
Peningkatan Mutu Penelitian di Lingkungan Balitbang Kementerian Agama, terutama
kebijakan kewajiban setiap peneliti untuk menyusun 4 hal: (1) Jadwal harian di
lapangan, (2) catatan harian, (3) catatan wawancara, dan (4) catatan observasi.
Padahal,
status itu muncul setelah penulis jalan-jalan di Gramedia dan melihat buku best seller Burhanuddin Muhtadi, Dilema
PKS: Antara Suara dan Syariah. Tidak ada niatan untuk menanggapi kebijakan baru
tersebut. Tetapi karena dikomentari panjang, saya pun akan memberikan komentar
yang panjang juga. Paling tidak sebagai sharing bawahan terhadap pimpinan. Sekaligus
sebagai latihan menulis, yang insya Allah akan penulis lakukan satu hari satu
tulisan sebagaimana Rektor IAIN Walisongo Semarang yang setiap hari bisa
membuat tulisan.
Peningkatan Mutu
Penelitian
Mafhum
bahwa 6 kebijakan teknis Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang lalu,
Prof Dr H Atho Mudzhar, MA masih dipakai. Salah satunya adalah peningkatan mutu
penelitian melalui diversifikasi metodologi. Persoalan mutu penelitian akan
selalu aktual karena menyangkut ruh dari kegiatan penelitian itu sendiri. Apalagi
untuk penelitian di kementerian yang harus selalu diarahkan untuk pengambilan
kebijakan. Tanpa mutu yang baik, tidak mungkin hasil penelitian tersebut akan
dipakai sebagai pengambilan kebijakan.
Mutu
yang baik memang mensyaratkan berbagai hal. Hal yang paling penting menurut
hemat saya adalah SDM peneliti. Tanpa SDM peneliti yang kompeten dan berdedikasi
mustahil akan melahirkan hasil penelitian yang bermutu. Peningkatan kompetensi
peneliti tentu melalui berbagai jalur. Yang paling ampuh tentu melalui jalur
pendidikan baik formal S-2 dan S-3 dan non formal sebagaimana sudah dan pastinya akan terus dilakukan di Litbang Agama.
Di
sisi lain, persoalan waktu penelitian bisa jadi problem. Dengan waktu yang
sedikit, mustahil akan memberikan hasil penelitian yang berbobot. Demikian mantra
ampuh yang kerap muncul. Apalagi fakta bahwa Cliffordz Geertz yang menghasilkan
karya monumental itu perlu melakukan penelitian yang lama, 6 bulan sampai 1
tahun. Meskipun menurut Prof Mudjahirin dalam suatu kesempatan, bahwa
sedikitnya waktu penelitian itu untuk disiasati bukan dimaklumi. Artinya bagaimana
memaksimalkan waktu penelitian yang sedikit itu untuk menghasilkan penelitian
yang bermutu. Yang lebih penting adalah persiapan penelitian terutama pembacaan
teks2 bacaan yang relevan dengan topik penelitian yang perlu diperbanyak.
Secara
faktual kegiatan penelitian di lapangan bisa beraneka ragam yang terkadang
tidak terkait langsung dengan penelitian. Misalnya ketika peneliti datang
sejatinya yang dicari pertama bukan data melainkan hotel, kemudian akan
mendatangi kemenag propinsi atau kabupaten, setelah itu biasanya mengenal
lingkungan sekitar, belum lagi tambah jalan2, dan persiapan oleh2 untuk
keluarga. Kegiatan2 tersebut kadang menyita banyak waktu dan bisa saja lebih
banyak waktu yang dihabiskan untuk itu daripada untuk pengumpulan data. Inilah yang
jadi problem utama penelitian kantoran.
Barangkali
akan beda manakala penelitian itu tidak dibebani kegiatan2 tersebut. Apalagi fakta
bahwa selama ini yang menjadi ukuran keberhasilan penelitian adalah evaluasi
administrasi buka evaluasi substansi. Bagaimana kwitansi hotel, bagaimana tiket
pesawat/angkutan, bagaimana uang responden, bagaimana uang informan, pembantu
peneliti, pembantu surveyor, konsumsi FGD, dan sebagainya harus
dipertanggungjawabkan. Peneliti dibebani tugas2 administrasi tersebut. Sebenarnya
tidak ada masalah, dalam arti bisa diselesaikan, tetapi waktu dan pikiran
terbebani oleh hal2 tersebut. Akibatnya, kegiatan penelitian dipengaruhi oleh
administrasi itu.
Paling
tidak, peneliti dipastikan lebih senang mencari data di kota daripada di desa. Karena
memang, umumnya di kota banyak hotel dan itu mempermudah dalam pencaria data. Atau
paling tidak, bisa jadi kita tidak datang ke lokasi penelitian yang jauh tetapi
justeru informan yang kita undang untuk datang ke hotel. Dan wawancara pun
dilakukan. Akibatnya kegiatan lebih pada kegiatan prosedural penelitian dan
bukan pada substansi penelitian.
Bisa
saja peneliti sungguh2 wawancara tetapi yang muncul adalah data permukaan (front stage) apalagi jika tidak
terbangun rapport yang baik dengan
informan. Andai saja model ‘gelondongan’ yang dulu pernah mencuat ke permukaan bisa
diterapkan dalam penelitian, barangkali itu bisa menjembati dilema peneliti. Wallah’alam.
Magelang, 12 April 2012
12 April adalah HUT Kota Tegal dan HUT Pernikahan Keenamku
0 Response to "Dilema Peneliti"
Posting Komentar