Tipologi Madrasah
18.54
ISLAMIC RESEARCH
, Posted in
Artikel
,
0 Comments
TIPOLOGI
MADRASAH IBTIDAIYAH
Penulis:
Imam Santosa S.Ag.
Disetiap pedesaan di tanah air kita terdapat sekolah
dasar (SD atau Madarasah Ibtidaiyah (MI) atau kedua-duanya, ada yang negeri ada
yang swasta. Kebanyakan SD adalah negeri, dan hampir seluruhnya didirikan
oleh pemerintah sejak awal …, sedikit saja yang merupakan perubahan dari SD
swasta yang dinegerikan. Berbeda dengan MI kebanyakan adalah swasta, sedikit
saja yang negeri, dan kebanyakan MI Negeri adalah MI Swasta yang dinegerikan.
Namun tidak demikian dengan SD/MI
Swasta, seringkali dijumpai para guru harus pontang-panting, pusing tujuh
keliling mencari dana untuk pembangunan, beli buku pelajaran, membayar honor
guru, dan sebagainya. Apalagi di pedasaan yang SPP-nya kecil, karena wali
muridnya kebanyakan memang tidak mampu. Akibatnya ,
MI harus gulung tikar karena
kehabisan murid. Hal itu disebabkan MI
telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat sebab gurunya tak dapat
menyelenggarakan pendidikan yang layak, para gurupun berkilah karena tak punya
dana untuk itu.
Kepengurusan
MI
MI maupun SD Swasta kebanyakan di bawah yayasan
seperti Muhammadiyah, Ma’arif NU, Mathlaul Anwar, dan sebagainya, ada juga
yayasan yang bersifat lokal.
Tapi, dalam praktiknya, setiap Yayasan tidak sama
penangananya. Bahkan , SD /MI yang bernaung di bawah Yayasan yang
sama tidak mesti mendapat perlakuan yang sama.
Karena berbagai faktor. Dari realita itu kita dapati beberapa model
kepengurusan dan pengelolaan MI, sebagai berikut:
Pertama,
Yayasan bertanggung jawab penuh. Sehingga guru dapat berkonsentrasi dalam
mendidik murid, MI/SD yang demikian biasanya Syahriah (SPP) maupun uang
gedung diserahkan ke yayasan, sehingga pengangkatan guru, honor guru,
pembangunan gedung, dan sebagainya menjadi tanggung jawab yayasan.
MI seperti ini, yang berada di bawah yayasan yang
telah kuat, memiliki sumber dana yang cukup, dari donatur, subsidi silang dari
lembaga pendidikan/amal usaha lainnya, atau sejak awal MI tersebut telah
dipersiapkan mandiri penuh yang dibiayai oleh wali murid, namun yang ketiga ini
jarang terjadi karena sangat mahal biayanya. Model ini hanya mungkin terjadi
yang wali muridnya telah sadar pendidikan agama
dan taraf penghasilannya menengah keatas.
Kedua, Yayasan hanya
bertanggung jawab sebagian. Pengangkatan dan pemberhentian Kepala Sekolah,
memberikan bantunan pembinaan guru dan karyawan, membantu dalam merencanakan
dan mencari dana pembangunan. Sedang pengelolaan keuangan, pengangkatan dan
pemberian honor guru dikelola sekolah.
Pada tipe ini, kita dapati tanggung jawab yayasan
antara lain, melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap MI, memberikan
sumbangan pemikiran dan solusi. Pengangkatan kepala sekolah—terkadang juga—guru
menjadi wewenang yayasan. Namun, pengelolaan keuangan, honor guru dan
karyawan, belanja sekolah menjadi
otonomi sekolah. Yayasan menerima laporan Kegiatan belajar mengajar (KBM) dan
sumbangan dari prosentase kecil saja syahriah.
Ketiga, Yayasan hanya
sebagai legitimasi. Semuanya dikelola sekolah dari keuangan, pembangunan dan
pengadaan berbagai sarana. Yayasan hanya memberi stempel bila diminta. MI yang
demikian biasanya akan tetap eksis, diminati masyarakat jika ada pengurus
setempat yang sangat peduli terhadap MI. Jadi kelangsungannya tergantung dari
pengurus atau pengelola, bukan Yayasan.
Peran pengurus MI pada tipe ketiga ini bervariasi;
a.
Pengurus Sekolah bertanggung jawab
penuh. Menentukan besarnya SPP/syahriah, honor guru, pembangunan fisik,
pengembangan MI dan sebagainya. Pengelola MI (Kepala MI dan dewan guru)
mempertanggung jawabkan pengelolaan MI selain keatasan dinasnya juga kepada
pengurus.
b.
Pengurus kurang peduli, adanya seperti
tiada, sehingga pengelola MI bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perkembangan
MI.
Hubungan
antara pengurus dan pengelola pada tipe inipun bervariasi;
a.
Antara pengurus dan pengelola berlainan
individu, sehingga pengelola dapat terkonsentrasi pada peningkatan kualitas KBM
(Kegiatan belajar mengajar), tidak terlalu pusing memikirkan pembangunan,
keuangan dan sebagainya.
Yang
demikian hanya mungkin terjadi jika MI berada dibawah pengurus yang memang
kuat, mampu dan sangat peduli akan perkembangan MI sebagai media da’wah dan
pendidikan Islam.
b.
Pengurus sekaligus pengelola MI. Ibarat
sebuah pesantren, sang Kiai yang mendirikan, yang memimpin, yang mengatur
kegiatan pesantren sekaligus yang mengelola keuangannya. Model yang demikian
tidak senantiasa buruk, kita dapati banyak pesantren yang sangat bagus
perkembangannya meski dengan menegement yang demikian, karena sang kiai memang
sangat peduli terhadap kemajuan pesantrennya.
Pengelolaan
MI model ini biasanya terjadi jika Kepala MI adalah pendiri MI, atau keluarga dari pendiri MI. Pada model
yang demikian sungguh sangat berat yang diemban oleh pengurus/kepala MI karena
seluruh tanggung jawab perkembangan MI ada dipundaknya, namun hal itu terkadang
harus terjadi karena tuntutan situasi dan kondisi, mungkin karena lingkungan
masyarakat yang belum peduli terhadap perkembangan MI, atau belum ada SDI
(Sumber daya Insani) yang diapandang mampu dan bertanggung jawab untuk diserahi
kepengurusan MI, atau memang masyarakat dilingkunggannya mempercayakan saja
kepadanya karena kharisma pimpinan MI.
Sehingga
kepengurusan yang demikian tak bermasalah jika memang pengurus mampu memikulnya
dengan penuh tanggung jawab. Akan bermasalah jika Pengurus yang sekaligus
kepala MI tersebut tidak amanah, MI hanya dijadikan alat untuk mencari
kepentingan pribadi/keluarganya sehingga mengorbankan anak didiknya.
c.
Pengurus MI, yang semula pendiri MI,
tidak peduli lagi terhadap MI, hal itu bisa terjadi antara lain karena memang
sudah tidak mendapatkan keuntungan lagi dari MI, atau kecewa terhadap
pengelolaan MI, Jika demikian adanya sungguh berat tanggung jawab Kepala
Madarasah, karena adanya pengurus seperti tiada adanya, bahkan bisa jadi
pengurus menjadi kendala bagi perkembangan MI.
d.
Pengurus MI dan Pengelola MI berlainan
individu, namun pengurus acuh tak acuh atau tidak faham bagaimana mengurus MI,
sementara pengelola juga tidak tau, atau memang tidak peduli terhadap
perkembangan MI, jika demikian adanya maka tinggal menunggu tutupnya MI
tersebut.
Partisipasi
Masayarakat
Partisipasi masyarakat terhadap MI pun beragam, ada
masyarakat yang memiliki perhatian yang serius terhadap perkembangan MI, ada
yang setengah-setengah, bahkan tak sedikit yang acuh tak acuh.
1.
Masyarakat sangat memperhatikan MI,
disini terasa sekali bahwa MI benar-benar dimiliki mayarakat, sehingga apa yang
menjadi kekurangan MI dipikirkan masyarakat, seperti kerusakan gedung,
kurangnya lokal karena banyaknya murid, bahkan KBM pun mendapat perhatian
masyarakat. Kondisi demikian terjadi pada MI yang berada dilingkungan
masyarakat yang sangat membutuhkan keberadaan MI sebagai lembaga pendidikan
Islam.
2.
Partisipasi yang setengah-setengah,
yaitu masyarakat yang terhadap MI perhatiannya tidak tentu. Mereka
menyekolahkan anaknya di MI, membayar syahriah, jika dipanggil rapat datang,
tetapi tidak banyak memberikan sumbangan pemikiran ataupun materi terhadap
perkembangan MI, mereka hanya menyekolahkan anaknya di MI itu saja. Kondisi
masyarakat yang demikian diantara sebab-sebabnya adalah; faktor ekonomi,
kesadaran pentingnya pendidikan agama rendah, karena kepercayaan yang sangat
tinggi kepada pengurus dan pengelola MI akan kemajuan MI, atau segan terhadap
pengurus dan pengelola MI. Pada masyarakat yang demikian maju-mundurnya MI
sangat ditentukan oleh pengurus dan pengelola MI. Masyarakat terkadang hanya
melihat kalau baik anaknya disekolahkan ke MI, kalau buruk dialihkan ke sekolah
lainnya. Sering kita jumpai, MI yang demikian menjadi kehilangan kepercayaan
masyarakat karena merosot kualitasnya disebabkan pengurus/pengelola pensiun,
meninggal dunia, atau alih tugas sehingga tak sempat lagi mengurusi MI,
sementara penggantinya tidak mampu mempertahankannya.
3.
Masyarakat yang acuh tak acuh. tak
peduli pada MI. Kondisi yang menyebabkannya antara lain faktor ekonomi, atau
mayarakat kurang menyadari pentingnya pendidikan agama, atau pengurus dan
pengelola pasif, tertutup, tidak pernah berkomunikasi dengan wali murid dan
masyarakat untuk mengajak memikirkan MI.
Khotimah
Betapapun juga MI merupakan salah satu amal jariyah
bagi pendiri, masyarakat dan seluruh yang terlibat didalamnya, MI merupakan
media da’wah dan pendidikan Islam yang keberadaannya sangat dibutuhkan “li
i’lai kalimatillah”, karenanya yang menghidup suburkan MI termasuk yang
dimudahkan masuk surga “insyaAllah”.
Bagi pemerintah, khususnya Departemen Agama, MI merupakan
salah satu ujung tombaknya, sehingga etos kerja aparatur Depag antara lain
diukur dalam pembinaan dan pengelolaan MI. Karena itu memahami karakteristik MI
sangat penting bagi aparatur Depag yang terlibat dalam pembinaan dan pengawasan
MI, sehingga dapat mengambil langkah yang tepat untuk terwujudnya MI yang
ideal.
Sumber Tulisan:
sumbangan tulisan
dari Imam Santosa
Pengurus Pendidikan
Islam Al-Iman “Daarussalaam”
Candisari,
Secang, Magelang. Ditulis sebelum ada BOS
0 Response to "Tipologi Madrasah"
Posting Komentar