Tipologi Madrasah


TIPOLOGI MADRASAH IBTIDAIYAH
Penulis: Imam Santosa S.Ag.

Disetiap pedesaan di tanah air kita terdapat sekolah dasar (SD atau Madarasah Ibtidaiyah (MI) atau kedua-duanya, ada yang negeri ada yang swasta. Kebanyakan SD adalah negeri, dan hampir seluruhnya didirikan oleh pemerintah sejak awal …, sedikit saja yang merupakan perubahan dari SD swasta yang dinegerikan. Berbeda dengan MI kebanyakan adalah swasta, sedikit saja yang negeri, dan kebanyakan MI Negeri adalah MI Swasta yang dinegerikan.

Baik SD maupun MI negeri, guru, sarana dan prasarana pendidikan telah ditanggung pemerintah. Secara umum SD/MI Negeri lebih baik kwalitasnya dari swasta, karena gurunya lebih konsentrasi dalam mendidik murid. Sekolah Negeri tak perlu pusing mencari dana untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan atau honor guru. Selain itu, wali muridnya pun tak banyak terbebani secara materi.
Namun tidak demikian dengan SD/MI Swasta, seringkali dijumpai para guru harus pontang-panting, pusing tujuh keliling mencari dana untuk pembangunan, beli buku pelajaran, membayar honor guru, dan sebagainya. Apalagi di pedasaan yang SPP-nya kecil, karena wali muridnya kebanyakan memang tidak mampu. Akibatnya, MI harus gulung tikar karena kehabisan murid. Hal itu disebabkan MI  telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat sebab gurunya tak dapat menyelenggarakan pendidikan yang layak, para gurupun berkilah karena tak punya dana untuk itu.

Kepengurusan MI


MI maupun SD Swasta kebanyakan di bawah yayasan seperti Muhammadiyah, Ma’arif NU, Mathlaul Anwar, dan sebagainya, ada juga yayasan yang bersifat lokal.
Tapi, dalam praktiknya, setiap Yayasan tidak sama penangananya.  BahkanSD/MI yang bernaung di bawah Yayasan yang sama tidak mesti mendapat perlakuan yang sama.  Karena berbagai faktor. Dari realita itu kita dapati beberapa model kepengurusan dan pengelolaan MI, sebagai berikut:
 Pertama, Yayasan bertanggung jawab penuh. Sehingga guru dapat berkonsentrasi dalam mendidik murid, MI/SD yang demikian biasanya Syahriah (SPP) maupun uang gedung diserahkan ke yayasan, sehingga pengangkatan guru, honor guru, pembangunan gedung, dan sebagainya menjadi tanggung jawab yayasan.
MI seperti ini, yang berada di bawah yayasan yang telah kuat, memiliki sumber dana yang cukup, dari donatur, subsidi silang dari lembaga pendidikan/amal usaha lainnya, atau sejak awal MI tersebut telah dipersiapkan mandiri penuh yang dibiayai oleh wali murid, namun yang ketiga ini jarang terjadi karena sangat mahal biayanya. Model ini hanya mungkin terjadi yang wali muridnya telah sadar pendidikan agama  dan taraf penghasilannya menengah keatas.
Kedua, Yayasan hanya bertanggung jawab sebagian. Pengangkatan dan pemberhentian Kepala Sekolah, memberikan bantunan pembinaan guru dan karyawan, membantu dalam merencanakan dan mencari dana pembangunan. Sedang pengelolaan keuangan, pengangkatan dan pemberian honor guru dikelola sekolah.
Pada tipe ini, kita dapati tanggung jawab yayasan antara lain, melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap MI, memberikan sumbangan pemikiran dan solusi. Pengangkatan kepala sekolah—terkadang  juga—guru  menjadi wewenang yayasan. Namun, pengelolaan keuangan, honor guru dan karyawan, belanja sekolah  menjadi otonomi sekolah. Yayasan menerima laporan Kegiatan belajar mengajar (KBM) dan sumbangan dari prosentase kecil saja syahriah.
Ketiga, Yayasan hanya sebagai legitimasi. Semuanya dikelola sekolah dari keuangan, pembangunan dan pengadaan berbagai sarana. Yayasan hanya memberi stempel bila diminta. MI yang demikian biasanya akan tetap eksis, diminati masyarakat jika ada pengurus setempat yang sangat peduli terhadap MI. Jadi kelangsungannya tergantung dari pengurus atau pengelola, bukan Yayasan.
Peran pengurus MI pada tipe ketiga ini  bervariasi;
a.       Pengurus Sekolah bertanggung jawab penuh. Menentukan besarnya SPP/syahriah, honor guru, pembangunan fisik, pengembangan MI dan sebagainya. Pengelola MI (Kepala MI dan dewan guru) mempertanggung jawabkan pengelolaan MI selain keatasan dinasnya juga kepada pengurus.
b.      Pengurus kurang peduli, adanya seperti tiada, sehingga pengelola MI bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perkembangan MI.

Hubungan antara pengurus dan pengelola pada tipe inipun bervariasi;
a.       Antara pengurus dan pengelola berlainan individu, sehingga pengelola dapat terkonsentrasi pada peningkatan kualitas KBM (Kegiatan belajar mengajar), tidak terlalu pusing memikirkan pembangunan, keuangan dan sebagainya.
Yang demikian hanya mungkin terjadi jika MI berada dibawah pengurus yang memang kuat, mampu dan sangat peduli akan perkembangan MI sebagai media da’wah dan pendidikan Islam.
b.      Pengurus sekaligus pengelola MI. Ibarat sebuah pesantren, sang Kiai yang mendirikan, yang memimpin, yang mengatur kegiatan pesantren sekaligus yang mengelola keuangannya. Model yang demikian tidak senantiasa buruk, kita dapati banyak pesantren yang sangat bagus perkembangannya meski dengan menegement yang demikian, karena sang kiai memang sangat peduli terhadap kemajuan pesantrennya.
Pengelolaan MI model ini biasanya terjadi jika Kepala MI adalah pendiri MI,  atau keluarga dari pendiri MI. Pada model yang demikian sungguh sangat berat yang diemban oleh pengurus/kepala MI karena seluruh tanggung jawab perkembangan MI ada dipundaknya, namun hal itu terkadang harus terjadi karena tuntutan situasi dan kondisi, mungkin karena lingkungan masyarakat yang belum peduli terhadap perkembangan MI, atau belum ada SDI (Sumber daya Insani) yang diapandang mampu dan bertanggung jawab untuk diserahi kepengurusan MI, atau memang masyarakat dilingkunggannya mempercayakan saja kepadanya karena kharisma pimpinan MI.
Sehingga kepengurusan yang demikian tak bermasalah jika memang pengurus mampu memikulnya dengan penuh tanggung jawab. Akan bermasalah jika Pengurus yang sekaligus kepala MI tersebut tidak amanah, MI hanya dijadikan alat untuk mencari kepentingan pribadi/keluarganya sehingga mengorbankan anak didiknya.
c.       Pengurus MI, yang semula pendiri MI, tidak peduli lagi terhadap MI, hal itu bisa terjadi antara lain karena memang sudah tidak mendapatkan keuntungan lagi dari MI, atau kecewa terhadap pengelolaan MI, Jika demikian adanya sungguh berat tanggung jawab Kepala Madarasah, karena adanya pengurus seperti tiada adanya, bahkan bisa jadi pengurus menjadi kendala bagi perkembangan MI.
d.      Pengurus MI dan Pengelola MI berlainan individu, namun pengurus acuh tak acuh atau tidak faham bagaimana mengurus MI, sementara pengelola juga tidak tau, atau memang tidak peduli terhadap perkembangan MI, jika demikian adanya maka tinggal menunggu tutupnya MI tersebut.

Partisipasi Masayarakat

Partisipasi masyarakat terhadap MI pun beragam, ada masyarakat yang memiliki perhatian yang serius terhadap perkembangan MI, ada yang setengah-setengah, bahkan tak sedikit yang acuh tak acuh.
1.      Masyarakat sangat memperhatikan MI, disini terasa sekali bahwa MI benar-benar dimiliki mayarakat, sehingga apa yang menjadi kekurangan MI dipikirkan masyarakat, seperti kerusakan gedung, kurangnya lokal karena banyaknya murid, bahkan KBM pun mendapat perhatian masyarakat. Kondisi demikian terjadi pada MI yang berada dilingkungan masyarakat yang sangat membutuhkan keberadaan MI sebagai lembaga pendidikan Islam.
2.      Partisipasi yang setengah-setengah, yaitu masyarakat yang terhadap MI perhatiannya tidak tentu. Mereka menyekolahkan anaknya di MI, membayar syahriah, jika dipanggil rapat datang, tetapi tidak banyak memberikan sumbangan pemikiran ataupun materi terhadap perkembangan MI, mereka hanya menyekolahkan anaknya di MI itu saja. Kondisi masyarakat yang demikian diantara sebab-sebabnya adalah; faktor ekonomi, kesadaran pentingnya pendidikan agama rendah, karena kepercayaan yang sangat tinggi kepada pengurus dan pengelola MI akan kemajuan MI, atau segan terhadap pengurus dan pengelola MI. Pada masyarakat yang demikian maju-mundurnya MI sangat ditentukan oleh pengurus dan pengelola MI. Masyarakat terkadang hanya melihat kalau baik anaknya disekolahkan ke MI, kalau buruk dialihkan ke sekolah lainnya. Sering kita jumpai, MI yang demikian menjadi kehilangan kepercayaan masyarakat karena merosot kualitasnya disebabkan pengurus/pengelola pensiun, meninggal dunia, atau alih tugas sehingga tak sempat lagi mengurusi MI, sementara penggantinya tidak mampu mempertahankannya.
3.      Masyarakat yang acuh tak acuh. tak peduli pada MI. Kondisi yang menyebabkannya antara lain faktor ekonomi, atau mayarakat kurang menyadari pentingnya pendidikan agama, atau pengurus dan pengelola pasif, tertutup, tidak pernah berkomunikasi dengan wali murid dan masyarakat untuk mengajak memikirkan MI.

Khotimah

Betapapun juga MI merupakan salah satu amal jariyah bagi pendiri, masyarakat dan seluruh yang terlibat didalamnya, MI merupakan media da’wah dan pendidikan Islam yang keberadaannya sangat dibutuhkan “li i’lai kalimatillah”, karenanya yang menghidup suburkan MI termasuk yang dimudahkan masuk surga “insyaAllah”.
Bagi pemerintah, khususnya Departemen Agama, MI merupakan salah satu ujung tombaknya, sehingga etos kerja aparatur Depag antara lain diukur dalam pembinaan dan pengelolaan MI. Karena itu memahami karakteristik MI sangat penting bagi aparatur Depag yang terlibat dalam pembinaan dan pengawasan MI, sehingga dapat mengambil langkah yang tepat untuk terwujudnya MI yang ideal.




Sumber Tulisan:
sumbangan tulisan dari Imam Santosa
Pengurus Pendidikan Islam Al-Iman “Daarussalaam”
Candisari, Secang, Magelang. Ditulis sebelum ada BOS

0 Response to "Tipologi Madrasah"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme | Blogger Templates | Best Credit Cards