Jemaat Ahmadiyah Indonesia
23.52
ISLAMIC RESEARCH
, Posted in
Penelitian
,
0 Comments
SKB SEBAGAI SOLUSI HUKUM; Studi pada Tahapan
Penyelesaian Kasus JAI
Oleh: Aji Sofanudin[1]
This study aims to determine (1) How religious
movement JAI, (2) How does the government policy against JAI. This study used media reports of JAI in the mass media (kompas,
republika, suara merdeka). The result, first, JAI is a religious organization based in Parung Bogor and is part of the International Ahmadiyya Community,
based in London UK. The
existence of JAI get the refusal of Indonesian Moslems in the form of an objection, sealing, destruction of mosques, small mosque, and any assets of JAI in various regions. These events still occur even after 3 (three) years of SKB. Second, in dealing with JAI, the
government made the following stages: (1) dialogue which involves the JAI and Islamic organizations, (2) Offer 7 Solutions to the JAI, (3) Requesting JAI make explanations that the doctrine they convey different with the alleged
(12 points explanation of PB JAI), (4) Ask for government
officials (Bakor Pakem) for monitoring, (5) Stating that JAI was not consistent, (6) Publish SKB, (7) Publish SE , (8) Socialization of SKB, and (9) Doing missionary endeavor.
Keywords: Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI), Surat Keputusan Bersama (SKB)
A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah
negara beragama dan bukan negara agama (teokrasi). Undang-Undang Dasar 1945
menjamin setiap warga negara bebas untuk memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya. Dalam Pasal 28E (1) disebutkan “setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya...”. Dalam Pasal 29 (2) “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Meski
bukan negara agama, Indonesia juga bukan negara sekuler yang menolak
campur tangan negara atau pemerintah dalam kehidupan beragama. Negara
melalui pemerintah secara langsung ikut serta dalam pembangunan moral
agama tanpa mencampuri urusan internal
agama. Negara dalam kehidupan sosial hanya memberikan jaminan bahwa setiap
pemeluk agama dapat menjalankan agamanya secara baik tanpa mengganggu hak-hak
keberagamaan agama lain.
Munculnya konflik
agama yang menodai kedamaian tidaklah serta merta ada atau muncul secara
tiba-tiba. Kasus-kasus keagamaan atau konflik bernuansa agama adalah sebuah
proses sosial yang tidak lepas dari tanda-tanda atau faktor yang mendahului
dalam bentuk gejala-gejala sosial. Akar konflik agama bisa bermula dari hal-hal
sepele, yaitu dari masalah-masalah kecil di masyarakat yang sebelumnya tidak
tertangani dengan baik. Akar konflik agama yang tidak segera diredakan dengan
baik, lama kelamaan akan terakumulasi dalam bentuk ketegangan sosial.
Melihat
konflik-konflik yang telah terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa secara umum
masyarakat kota lebih rentan terhadap konflik bernuansa agama. Tak terkecuali
di kota Semarang. Meskipun memiliki slogan ATLAS yang berarti aman, tertib,
lancar, asri, dan sejuk tak berarti kota Semarang nihil dari konflik bernuansa
agama. Di Kecamatan Genuk tahun 2002 pernah terjadi sengketa pendirian tempat
ibadah yang berujung perusakan. Di Kecamatann Ngaliyan pernah juga terjadi
ketegangan pendirian rumah ibadah yang muncul pada tahun 2006, di kelurahan
Purwoyoso. Demikian juga, tahun 2010, muncul pula konflik rumah ibadah di
kelurahan Kalipancur tentang pendirian masjid LDII. Demikian juga pada
organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Meski Surat Keputusan Bersama
(SKB) tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus JAI dan warga masyarakat sudah 2 (dua) tahun diterbitkan,
konflik yang melibatkan Ahmadiyah masih kerap terjadi.
Berdasarkan hal
tersebut, perlu untuk diadakan sebuah kajian tentang JAI, baik dalam realitas
media maupuan dalam realitas masyarakat, khususnya JAI yang ada di kota
Semarang. Secara khusus ingin mengetahui: (1) Bagaimana gerakan keagamaan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (2) Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, dan (3) Bagaimana dinamika keagamaan masyarakat pada
aliran JAI di kota Semarang pasca SKB.
B. SEKILAS TENTANG JAI
Ahmadiyah adalah
suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun
1889 M atau 1306 H di India. Beliau dilahirkan di Qadian India pada tanggal 13
Februari 1835, putra dari Mirza Ghulam Murtadla bin Haji Barlas dari Iran.
Saudara Mirza Ghulam Ahmad adalah Janat. Nenek moyangnya dari Iran dan kakeknya pernah menjadi
Qadli (Hakim) pada masa kerajaan Mongol di Hindustan sehingga daerah kekuasaan
Qadli ini diberi nama Islam Pur Qadli yang pada akhirnya menjadi Qadian.
Ahmadiyah terbagi menjadi dua aliran, yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah
Lahore. Ahmadiyah Qadiyan berkeyakinan bahwa MGA adalah seorang Nabi sedangkan
Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa MGA sebagai mujaddid (pembaharu).
Pecahnya
Ahmadiyah dalam kelompok ini berawal dari keyakinan Bashiruddin Mahmud Ahmad (BMA), khalifah kedua
Ahmadiyah, terutama berkaitan dengan: (1) bahwa pendiri Ahmadiyah adalah
betul-betul Nabi, (2) bahwa MGA adalah Ahmad yang diramalkan dalam Qur’an surat
As-Shaf ayat 6, dan (3) bahwa semua orang Islam yang tidak bai’at kepada MGA
adalah kafir dan berada di luar agama Islam.
Pernyataan BMA
tersebut menyebabkan Ahmadiyah pecah menjadi dua golongan. Golongan pertama
dipimpin BMA yang berpusat di Qadian (sekarang di Rabwah) yang lebih dikenal
dengan Jemaat Ahmadiyah atau Ahmadiyah Qadian. Sedangkan golongan
kedua dipimpin oleh Maulana Ahmad Ali (MAA), yang lebih dikenal dengan anjuman
Asya’ati Islam Lahore atau Ahmadiyah Lahore.
Ahmadiyah masuk
ke Indonesia pada tahun 1925 dan terbentuk dalam dua organisasi. Pertama, Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (GAI) sebagai organisasi pengikut Ahmadiyah Lahore. GAI
berpusat di Yogyakarta dan bukan merupakan bagian (cabang) dari Ahmadiyah
manapun. GAI tidak pernah bermasalah dengan umat Islam pada umumnya.
Kedua,
adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Organisasi ini merupakan pengikut
Ahmadiyah Qadian dan berpusat di Jakarta dengan Amir (pimpinan) Abdul Basit.
JAI merupakan cabang dari Ahmadiyah yang berpusat di London, Inggris. JAI
terdaftar sebagai badan hukum berdasarkan penetapan Menteri Kehakiman RI Nomor:
JA.5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 yang dimuat dalam Tambahan Berita Negara
Nomor: 26 tanggal 31 Maret 1953. JAI juga terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakatan di Departemen Dalam Negeri Nomor: 75/D.1/VI/2003 tanggal 5 Juni
2003.
C. TAHAPAN PENETAPAN HUKUM TERHADAP JAI
Dalam menyelesaikan kasus JAI,
pemerintah melakukan langkah-langkah atau tahapan-tahapan sebagai berikut:
1)
Melakukan serangkaian dialog yang
melibatkan ormas-ormas Islam
Melihat eskalasi kekerasan yang
melibatkan Ahmadiyah semakin meningkat, maka pemerintah (Badan Litbang dan
Diklat Kemenag) memfasilitasi adanya kegiatan dialog Ahmadiyah dengan
Ormas-ormas Islam.
Dialog dilakukan selama 7 (tujuh) kali
putaran. Dialog tersebut tidak menghasilkan kata sepakat tentang masa depan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
2)
Melakukan 7 Tawaran Solusi terhadap
Ahmadiyah
Berdasarkan hasil dialog dan kajian
penelitian, Badan Litbang dan Diklat menawarkan 7 (tujuh) solusi permasalahan
Ahmadiyah:
(1) Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dibubarkan oleh pemerintah
(2) Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dibubarkan oleh pengadilan dan melalui proses
pengadilan
(3) Ahmadiyah
dikategorikan sebagai agama di luar Islam
(4) Ahmadiyah
diterima oleh umat Islam arus-utama sebagai salah satu aliran dalam Islam
(5) Pemerintah
memberi peringatan keras kepada JAI agar menghentikan kegiatannya di seluruh
wilayah RI
(6) Diadakan
pertemuan/musyawarah antara MUI, JAI, GAI, ormas-ormas Islam dan Pemerintah
untuk menyepakati bersama langkah penyelesaian yang harus diambil, dengan
prinsip kesediaan melakukan take and give
(7) Ahmadiyah
tidak dilarang, tetapi harus menghentikan segala kegiatannya
Atas tawaran tersebupt, JAI memilih opsi
yang ke-4 yakni “Ahmadiyah diterima oleh umat Islam arus-utama sebagai salah
satu aliran dalam Islam”. Oleh karena itu, Ahmadiyah diminta untuk menjelaskan
pokok-pokok keyakinan dan kemasyarakatan yang dituduhkan berbeda dengan Islam
arus-utama.
3)
Meminta Ahmadiyah membuat
penjelasan bahwa ajaran yang mereka sampaikan berbeda dengan yang dituduhkan
Persoalan Ahmadiyah sebenarnya adalah
persoalan lama. Majelis Ulama Inodnesia (MUI)
pada masa Buya Hamka tahun 1980 sudah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah
adalah aliran sesat dan menyesatkan. Demikian juga tahun 2005 MUI kembali
menegaskan bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang keluar/bukan bagian dari Islam.
Solusi fatwa terbukti tidak efektif
untuk menghentikan laju Ahmadiyah. Bahkan terkesan bahwa fatwa tersebut
dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah.
Eskalasi kekerasan yang menimpa Ahmadiyah terus berjalan, bahkan cenderung
meningkat.
Badan Litbang dan Diklat memfasilitasi
JAI untuk menjelaskan pokok-pokok keyakinan dan kemasyarakatan JAI pada publik
yang terkenal dengan sebutan “12 butir penjelasan tentang pokok-pokok ajaran
Ahmadiyah”. Kemudian ditandatangani oleh Amir (ketua) PB Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, Abdul Basith pada tanggal 14 Januari 2008.
Secara lengkap ke-12 butir penjelasan tersebut
adalah sebagai berikut:
1)
Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula
meyakini dan mengucapkan dua kalimat syahadat sebagaimana diajarkan Yang Mulia
Nabi Muhammad Rasulullah SAW yaitu, Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa
asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi bahwa sesungguhnya
tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah
Rasulullah.
2)
Sejak semula kami warga Jemaat
Ahmadiyah meyakini Muhammad Rasulullah adalah khatamun Nabiyyin (nabi
penutup)
3)
Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan
peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat
Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW.
4)
Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah
dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah
bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata
Muhammad di depan kata Rasulullah
5)
Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini
bahwa:
a.
Tidak ada wahyu syari’at setelah
Alquranul karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW;
b.
Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW
adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.
6)
Buku Tadzkirah, bukanlah kitab suci
Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang
dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada
1935 M, 27 tahun setelah beliau wafat (1908).
7)
Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah
dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan
kata-kata maupun perbuatan
8)
Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah
dan tidak akan menyebut masjid yang dibangun dengan nama Masjid Ahmadiyah
9)
Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang
dibangun dan dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat
Islam dari golongan manapun.
10)
Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai
Muslim selalu melakukan pencatatan perkawinan KUA dan mendaftarkan perkara
perceraian dan perkara-perkara lainnya berkenaan dengan itu ke KUA sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
11)
Kami warga Jemaat Ahmadiyah akan terus
meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat
Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakatan untuk kemajuan
Islam, bangsa dan NKRI.
12)
Dengan penjelasan ini, PB JAI
mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta
masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta
persatuan dan kesatuan bangsa.
4)
Meminta aparat pemerintah (Bakor
Pakem) agar melakukan tugas pemantauan
Setelah
PB JAI menandatangi dua belas butir tersebut yang berisi penjelasan
(pelurusan?) pokok-pokok ajaran, pemerintah kemudian membentuk Tim Pemantau
Ahmadiyah yang dipimpin oleh Kepala Badan Litbang. Tim ini kemudian membentuk
tim pemantau di daerah yang beranggotakan: para peneliti di Departemen Agama,
para polisi, dan aparat kejaksaan guna melakukan pemantauan apakah betul
Ahmadiyah menjalankan ke-12 butir penjelasan tersebut.
Tim
ini bekerja selama tiga (3) bulan, sehingga direncanakan melakukan rapat
evaluasi pada tanggal 14 April 2008. Tetapi, karena satu dan lain hal rapat
baru dapat dilaksanakan pada tanggal 16 April 2008 dengan kesimpulan Ahmadiyah
tidak menjalankan ke-12 butir penjelasan tersebut secara sungguh-sungguh.
5)
Menyatakan bahwa Ahmadiyah tidak
konsisten
Berdasarkan
rapat evaluasi pada tanggal 16 April 2008 di Kejaksaan Agung, Bakor Pakem yang
diketuai oleh Jaksa Agung Muda Inteligen (JAM Intel), Wisnu Subroto menyatakan
bahwa berdasarkan hasil pemantauan selama tiga (3) bulan disimpulkan bahwa
Ahmadiyah tidak menjalankan ke-12 butir pernyataan tersebut secara benar.
Ditemukan di lapangan bahwa Ahmadiyah masih mengakui ada nabi lain setelah Nabi
Muhammad SAW. Bakor Pakem merekomendasikan kepada menteri (Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri) dan Kejaksaan
Agung untuk membuat SKB tentang Ahmadiyah.
Ahmadiyah
dinyatakan melanggar/tidak melaksanakan apa-apa yang telah ditulis dan
disampaikannya sendiri. Beberapa point yang tidak sesuai di lapangan adalah butir
2 mengenai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup, butir 3
mengenai MGA sebagai guru dan mursyid, butir 5 tentang kedudukan
al-Qur’an dan sunnah Nabi dan butir 6 mengenai tadzkirah bukan
kitab suci dan butir 7 mengenai tindakan pengkafiran orang Islam
di luar Ahmadiyah dengan perkataan dan perbuatan.
6)
Menerbitkan SKB
Dalam
menyusun rumusan SKB pemerintah terkesan sangat hati-hati (ekstra hati-hati).
Pemerintah mencoba mencari jalan tengah di antara dua tuntutan yang berbeda: Pembubaran
Ahmadiyah dan Pengakuan Eksistensi Ahmadiyah. Kemudian dihasilkanlah
rumusan SKB Ahmadiyah sebagai berikut:
Surat Keputusan
Bersama
MENTERI AGAMA,
JAKSA AGUNG DAN MENTERI DALAM NEGERI
No 3/2008,
KEP-033/A/JA/6/2008 dan No 199/2008
Tentang
Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan /atau Anggota Pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat
(1) Memberi
peringatan dan memerintahkan warga masyarakat untuk tidak menceritakan,
menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang
suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama itu
(2) Memberi
peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam untuk
menghentikan penyebaran, penafsiran, dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya
setelah Nabi Muhammad SAW
(3) Penganut,
anggota, dan atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak
mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum 1 dan
diktum 2 dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,
termasuk organisasi dan badan hukumnya
(4) Memberi
peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan
memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan
bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan /atau tindakan melawan hukum
terhadap penganut, anggota dan/ atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI)
(5) Warga
masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud
pada diktum 1 dan diktum 4 dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
(6) Memerintahkan
kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah
pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan keputusan bersama
ini
Jakarta, 9 Juni 2008
7)
Menerbitkan SE Bersama
Dua
bulan setelah SKB diterbitkan pemerintah, tepatnya tanggal 6 Agustus 2008
pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen
Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan
Politik Departemen Dalam Negeri Nomor: SE/SJ/1322/2008, Nomor:
SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008 dan Nomor: SE/119/921.D.III/2008 tentang “Pedoman
Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia No 3/2008, KEP-033/A/JA/6/2008 dan No 199/2008
Tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan /atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Secara
ringkas isi SE Bersama tersebut adalah sebagai berikut: Diktum pertama
berbunyi: “Memberi peringatan dan memerintahkan warga masyarakat untuk tidak
menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum melakukan
penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Yang dimaksud dengan menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum ialah segala usaha, upaya,
kegiatan atau perbuatan penyebaran yang dilakukan oleh seseorang kepada orang
lain, baik yang dilakukan di tempat umum maupun di tempat khusus seperti
bangunan rumah ibadat dan bangunan lainnya.
Diktum
kedua berbunyi: “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota
dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku
beragama Islam untuk menghentikan penyebaran, penafsiran, dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya
setelah Nabi Muhammad SAW”.
Pengertian
diktum ini adalah bahwa:
a.
Peringatan dan perintah ditujkan keapda
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
yang mengaku beragama Islam. Artinya bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus yang tidak mengaku beragama Islam tidaklah termasuk objek yang diberi
peringatan atau perintah.
b.
Isi peringatan dan perintah dimaksud
adalah untuk menghentikan penyebaran
penafsiran yang menyimpang dan menghentikan kegiatan yang menyimpang. Yang
dimaksud dengan penafsiran yang menyimpang adalah faham yang mengakui adanya
nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pengertian
kegiatan yang menyimpang adalah kegiatan melaksanakan dan menyebarluaskan
ajaran adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
Perbuatan
dan kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian, pembaiatan, seminar,
lokakarya, dan kegiatan lainnya, secra lisan maupun tulisan, dalam bentuk buku,
dokumen organisasi, media cetak, da media elektronik yang mengandung muatan dan
dimaksudkan untuk penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dan segala
ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW, termasuk yang diperingatkan dan
diperintahkan untuk dihentikan.
Diktum
ketiga berbunyi: “Penganut, anggota, dan atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana
dimaksud pada diktum 1 dan diktum 2 dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya”.
Artinya
apabila peringatan dan perintah untuk menghentikan penyebaran sebagaimana yang
disebutkan pada Diktum kedua tidak dilaksanakan, maka dapat dikenai sanksi.
Sanksi
yang dimaksud dalam ketentuan diktum tersebut adalah sanksi pidana yang terkait
dengan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 1
jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor:1/PnPs/1965 dan/atau Pasal 156a KUHP yang
ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara.
Di
samping sanksi pidana tersebut di atas, terhadap organisasi JAI dapat dikenakan
sanksi berupa pembubaran organisasi dan badan hukumnya melalui prosedur sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan
Diktum
keempat berbunyi: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat
untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan
ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan /atau
tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota dan/ atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Artinya
bahwa warga masyarakat diberi peringatan dan perintah untuk tidak melakukan
perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dengan tujuan untuk
melindungi penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) termasuk harta bendanya dalam rangka memelihara kerukunan umat
beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat.
Hal
tersebut dimaksudkan agar masyarakat mematuhi hukum dengan tidak melakukan
tindakan anarkis seperti penyegelan, perusakan, pembakaran, dan perbuatan
melawan hukum lainnya terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta harta bendanya.
Diktum
kelima berbunyi: “Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan
perintah sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU dan diktum KEEMPAT dapat
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
Artinya
warga masyarakat yang melanggar hukum dengan melakukan main hakim sendiri,
berbuat anarkis, dan bertindak sewenang-wenang terhadap pengurus, anggota,
dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat dikenai sanksi
pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan antara lain sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 tentang
penyebaran kebencian dan permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan kekerasan
terhadap orang atau barang, Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351 tentang
penganiayaan, Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 406 tentang
perusakan barang, dan peraturan lainnya.
8)
Sosialisasi SKB
Akhirnya
pemerintah mengeluarkan SKB yang tidak membubarkan Ahmadiyah dan tidak melarang
eksistensi Ahmadiyah melainkan melarang anggota dan atau pengurus Ahmadiyah
agar menghentikan penyebaran ajaran yang menyimpang. Menurut Menteri Agama, H.
Maftuh Basuni, pemerintah meluruskan apa-apa yang bengkok, khususnya tentang
keyakinan akan adanya nabi lain setelah Nabi Muhammad SAW. Dalam bentuk bagan
digambarkan sebagai berikut.
Tabel
TAHAPAN
PENYELESAIAN AHMADIYAH
Dalam menyelesaikan
konflik Ahmadiyah, pemerintah berkompromi. Pemerintah memakai pendekatan
'bukan-ini-bukan-itu' (neither-nor). Pemerintah tidak mem-BUBAR-kan
Ahmadiyah tetapi juga tidak mem-BIAR-kan Ahmadiyah.
Dalam bentuk bagan
digambarkan sebagai berikut
Bagan
Kedudukan SKB di
antara 2 sikap
Dalam Surat Edaran
Bersama; Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan
Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri Nomor:
SE/SJ/1322/2008 Nomor: SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008, Nomor:SE/119/
921.D.III/2008 tidak secara spesifik
jenis aktivitas yang dilarang. Bagaimana keberadaan Moslem Television Ahmadiyya
(MTA) yang secara jelas, 24 jam menyebarkan paham Ahmadiyah. Sampai sejauh mana
JAI boleh beraktivitas keagamaan secara komunal?
Lahirnya SKB tentang Ahmadiyah bukanlah intervensi negara terhadap
keyakinan seseorang melainkan upaya pemerintah sesuai kewenangan yang diatur undang-undang dalam
rangka menjaga dan memupuk ketentraman beragama dan ketertiban kehidupan
masyarakat. (M Atho Mudzhar). SKB tersebut dapat dijadikan pedoman bagi semua
pihak dan warga untuk menyelesaikan permasalahan JAI secara damai dengan
mengindahkan aturan hukum yang berlaku.
D. PENUTUP
Simpulan
Dari uraian di
atas kiranya dapat ditarik benang merah bahwa dalam menangani Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) pemerintah melakukan tahapan penetapan hukum sebagai berikut:
a.
Melakuan dialog yang melibatkan
Ahmadiyah dan Ormas-ormas Islam
b.
Melakukan 7 Tawaran Solusi terhadap JAI
c.
Meminta Ahmadiyah membuat penjelasan
bahwa ajaran yang mereka sampaikan berbeda dengan yang dituduhkan (12 butir
penjelasan PB JAI)
d. Meminta
aparat pemerintah (Bakor Pakem) agar melakukan tugas pemantauan
e.
Menyatakan bahwa Ahmadiyah tidak
konsisten
f.
Menerbitkan SKB
g.
Menerbitkan SE Bersama
h.
Sosialisasi SKB
i.
Melakukan Pembinaan
DAFTAR PUSTAKA
Adamson, Iain.
2010. Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian. Yogyakarta: Pustaka Marwa
Anwar, A. Daniel
(peny). 2009. Al-Qur’an Menurut Mirza Ghulam Ahmad; Kumpulan Tulisan,
Khutbah, Fatwa, dan Ceramah. Jakarta: Mataram Publishing
-----------
(peny). 2009. Muhammad Menurut Mirza Ghulam Ahmad; Kumpulan Tulisan,
Khutbah, Fatwa, dan Ceramah. Jakarta: Mataram Publishing
Badan Litbang
dan Diklat. 2008. Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama,
Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor: 3 Tahun
2008; Nomor: Kep-033/A/ JA/6/2008; Nomor: 199 Tahun 2008 tentang “Peringatan
dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Jamil, M. Mukhsin. 2008. Agama-agama Baru di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Machasin.
1995. “Jemaat dan Gerakan Ahmadiyah” dalam Abu Hamid, dkk., Mengenal Ajaran
Beberapa Aliran Islam di Indonesia. Surakarta: UMS
Mudzhar, M Atho.
2008. “Kebebasan Beragama dan Beribadah di Indonesia” dalam Jurnal Harmoni,
Volume VII, Nomor 25, Januari-Maret 2008
Rumadi. 2006.
“Politik Dinding Tempat Ibadat” dalam Jurnal Harmoni, Volume V, Nomor 20,
Oktober-Desember 2006
Sofanudin, Aji.
2008. Ahmadiyah dalam Sorotan Media, tidak diterbitkan
---------------.2008.
Prosedur Penyelesaian Ahmadiyah, tidak diterbitkan
Sulaiman, dkk.,
2008. Laporan Pemantauan JAI di Jawa Tengah. Semarang: Balai Litbang
Agama Semarang
Thohir,
Mudjahirin. 2007. “Kekerasan Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia; Suatu
Pendekatan Sosial Budaya” Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi
Budaya pada Fakultas Sastra Universitas Diponegoro
---------------.2010.
“Agama dan Gerakan Keagamaan” Makalah Diskusi Balai Litbang Agama Semarang,
Oktober 2010
www.komnasham.com
0 Response to "Jemaat Ahmadiyah Indonesia"
Posting Komentar